Setelah Kiai Syiah as-Sayyid Syarifuddin al-Musawi al-‘amili memberi
penjelasan panjang lebar tentang tiadanya keharusan berpegang pada
madzhab-madzhab Ahlus Sunnah serta kewajiban untuk justru berpegang pada
madzhab di luar mayoritas, yakni Ahlul Bait −̶ kiai lawan polemik “sunnah-syiah”-nya, yakni
Syaikh Bisyri Maliki, si Ulama Jumhur, bertutur, “...berikanlah padaku
tambahan kata-kata mutiara serta hasil pemikiran Anda yang sangat bermutu itu.
Sebab aku telah menemukan kebajikan dan kearifan di antara urain-uraian Anda….”
Dan ketika sang
pewaris Ahlul Bait itu meneruskan gasakan-gasaknnya yang kurang
menempetkan sikap jumhur sebagai “diktaror mayoritas”, Kiai Bisyri
berungkap “…setelah selesai menekuni apa yang Anda sajikan, dan mendalami
dalil-dalil yang anda kemukakan, benar-benar aku diliputi kebingungan. Aku
melihat argument-argumen Anda mengikat, dalil-dalil yang anda kemukakan tidak
bisa dibantah… sebagai akibat kenyatan ini, jauh dari dalam lubuk hati,
kudengar dua bisikan yang saling berlawanan…. ”
Itu cuplikan buku
Dialog Sunnah Syaih, yang agak penting bagi kaum muslimin disini untuk
memperoleh kejelasan yang lebih luas dan mendalam tentang percaturan
anutan-anutan dalam islam di mana mereka di mana mereka berada di salah satu
garis dari konsentrasi itu.
Kutipan itu saya maksudkan
untuk melihat bersama fungsi lain yang mungkin tersamar di antara
informasi-inforasi formal yang disajiannya. Polemic sunnah-syiah barangkali
tidak pernah menjadi isu penting yang bisa melibatkan aktivitas-aktivitas
pikiran umat islamdi Indonesia dalam frekuensi tinggi, sebab itu saya
beranggapan bahwa fungsi tersembungi itu insya Allah besar sekali maknanya untu
di petik, yakni watak dialog di antara kedua yang mumpuni itu; suatu
perhubungan antarmanusia yang tak sekedar saling menggesekkan hasil pemikiran,
pendapat, wawasan, dan keyakinan, tetapi mlibatkan seluruh kebulatan kejiwaan
manusia secara hamper telanjang. Artinya, dipenuhi semangat menemukan
kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan diri, rileksitas dalam
benturan dan perbedaan, serta keikhlasan didalam saling menginsyafi keterbatasan
diri sendiri. Cuplikan di atas tentulah belum cukup untuk menggambarkan watak
itu semua, namun itulah yang saya rasakan di balik data-data pemikiran konkret
yang menjadi wujud dialog buku.
Di dalam
percaturan pemikiran modern dewasa ini kita juga sering tarlibat dalam berbagai
dialog yang selalu diusahakan “ilmiah”, yang bisanya juga cenderung
terkonsentrasi ke satu sudut yang “intelektual” belaka seakan-akan kita
hanyalah kumpulan dari gumpalan-gumpalan otak belaka yang berkempul dan
berembuk ditambah semacam etos sikap yang mati hidup mempertahankan setiap
argumentasi tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos begini yang idak
jarang membikin kita defensive buta, diongkosi harga diri yang membantu, dan
membawa kita kepada ketertutupan yang justru membendung alternative
kebenaranbaru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja
benar, tapi juga salah. Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi; di satu pihak
kita ngotot harus kreatif, dinamis, inovatif, di lahin pihak kita jumud dan
tertutup. Di satu pihak kita meyakini relativitas pengetahuan kita
(terbenturnya kita dengan garis cakrawala yang merupakan isyarat
ke-takterbatasan-ilahiah), di lain pihak kita acap kali bersikap lemah dengan
bersikap mutlak-mutlakan mengenggam kebenaran diri.
Tidak jarang ada
pengalaman bahwa keberlangsungan dialog yang terlalu mengotakkan diri pada
garis batas ilmiah menjadi amat muluk tetepi kabur dan keruh. Tetapi menjadi
jernih dan bersahaja ketika kita “oper persneling” watak dialog dengan cara
yang lebih personal-utuh, atau yang lazim disebut dialog dari hati ke hati. Di
dalam proses memahami ilmu-ilmu, yang secara dialektik harus dilangsungkan
sekaligus dengan proses pemahaman kenyataan, saya prebidai sering mengalami
hambatan semacam itu, sehingga sering sekali saya ragu, benarkah
intelektualisme dan spiritualisme merupakan dimensi kejiwaan yang berdiri
sendiri-sendiri. Tidak mungkinkah . misalnya, intelektualisme dari otak
kemakhlukan ang sempit dan nisbi ini sesungguhnya merupakan lapisan paling
permukaan belaka dari semesta spiritualisme yang tak terbatas, yang di ujungnya
sana memancar dari mata hati Allah?
Dialog pemikiran
kaum muslimin di Indonesia, kalau saya tidak khilaf , juga sering terjebak oleh
kecenderugna mengotakan semacam itu. Rasanya saya belum pernah mendengar atau
membaca ada tokoh islam kita yang menghadirkan diri di tengah percaturan
pemikiran dengan penuh dan memancarkan tidak saja keintaran, tetapi juga
kematangan, kedewasaan, terbuka dan kuat, sarat cinta kasih, shobir dan tawadlu,
utuh bulat dalam memancarkan apa yang terpuji dari ajaran Allahnya.
Tentu saja
unsure-unsur itu pernah terkandung, namun belum kebulatannya. Akan penuh hormat
dan syukur bagi yang mendengarnya, jika seorang tokoh besar , dalam suatu
perdebatan, mampu berkata, “Mendengar kata-kata Tuan, aku jadi diliputi rasa
bingung, dan jauh di dalam diriku ada bisikan yang berlawanan…” ̶ ̶ setidaknya itu memancarkan keinsyafan akan
kelemahan manusia di hadapan Tuhan yang tak sedetikpun pernah absen dari tengah
kita.
Tatkala sementara
tokoh islam serta kelompok elite muslimin lainnya melontarkan reaksi keras
terhadap buku Catatan Harian Ahmad Wahab dengan sikap ” berang” dan
menyiratkan semacam sikap otoriter, menjadi mafhumlah saya akan pengalaman saya
pada masa silam. Saya pernah menyaksikan sekelompok pemuda Muhammadiyah dan
Anshor di desa menyelenggarakan perkelahian missal gara-gara di puncak genting
Muhammadiyah terdapat lambing Bulan Bintang.
Oleh : Emha Ainun Nadjib