Perjanjian di Telaga



INGIN saya bertanya, tapi tak tahu pada siapa. Benarkah para astronaut, setidaknya para astronaut tertentu, sebelum mengangkasa, terlebih dahulu membasuh mukanya dengan air, lantas membungkuk menyentuhkan keningnya di tanah. Tak diusapnya debu itu, sampai menipis melenyap oleh angin yang menyapu.
             Di sekitar otak, atau bahkan mungkin di dalam otak, bisanya ada semacam kotoran elektronik  ̶ ̶ ̶  wallahualam apakah itu dalam pengertian materi atau spirit, seperti juga sang otak itu sendiri: benda ataukah jiwa, segumpal dagingkah atau anasir roh. Atau kita sebut saja benda yang berfungsi intelektual dan rohaniah.
             Sang astronaut dapat diganggu oleh kotoran elektronik itu nun dia ngkasa: kapasitas kecerdasannya, stamina kerjanya, tingkat mobilitasnya, intenensitas konsentrsinya, atau kejernihan daya pandang dan analisanya. Hanya debu yang sangup mengeliminasi, menyerap kotoran itu. Entah mahluk macam apa debu itu gerangan. Mungkin merupakan komposisi antara bebrapa unsur alam dengan satu dua komponen rahasia. Hanya para ilmuanlah yang sanggup menjawabnya, sehingga kita di tuntun juga untuk menjelaskan kenapa timpaan air liur anjing hendaknya dicuci dengan debu tujuh kali, atau kenapa sang Paus dari arsy Vatikan itu selalu mencium tanh terlebih dahulu begitu tiba di suatu tempat di permukaan bumi. Adakah itu klenik belaka, atau mitos. Atau semacam ritual romantic yang melambangkan persekutuan cinta dengan semesta alam. Atau merupakan wilayah pengetahuan yang belum kita jamah sehingga kita simplifikasi saja dengan menganggapnya mitos.
             Dan air. Siapakah yang bermurah hati bersedia menjelaskan secara indah hal-hal yang menyangkut air. Unsure H20 pasti hanya kulit permukaan hakikat air. Efektivitas danmagi apa gerangan yang terjadi ketika air alam diusapkan kewajah kita. Anak-anak kecil bertanya tentang wudu: kenapa yang kentut anus tapi yang dicuci kok wajah? Kita menjawab: Karena kita merasa malu sehabis kentut, tangan kita bukannya bergerak menutupi sela antara dua pantat, melainkan menutupi wajah. Karena begitu kentut berbunyi, darah kita diperintah Allah untuk spontan berlari untuk tidak menuju anus, melainkan menuju wajah, sehingga merah muka kita.
             Wajah adalah wakil utama diri dan pribadi. Diri itu esensial, pribadi itu eksistensial. Diri pribadi di cuci bukan hanya harus mencapai kondisi terbaik, tapi juga jarena merasa butuh bersih, rasa suci, dan itu syarat untuk percaya diri. Mungkin ”wajah dibasahi air” mengantarkan manusia tak sekedar menuju rasa bersih dan rasa suci, namun kebersihan dankesucian itu sendiri? Dengan kata lain, cuci muka itu bukan sekedar sugesti yang berlaku subyektif, melainkan suatu metode obyektif.
             Orang dengan tradisi tertentu menyebut cuci wajah itu sebagai inti wudu. Dan astronaut yang menyentuhkan keningnya ke tanah adalah bersujud. Astronaut ”berwudu” sebelum bersembahyang diangkasa awing-awang, di wilayah rawan tempat nasib nyawa manusia bergantung pada kadar percintaannya dengan Sang Kekasih Agung. Cinta hanya bisa dipentaskan oleh diri dan pribadi yang diusahakan sebersih dan sesuci mungkin.
             Di angkasa, astronaut itu bersujud. Menyadari kekecilannya. Ke-debu-annya di tengah semesta agung. Ia menyujudkan diri: segala proses ada-tiadanya. Ia menyjudkan pribadi: petualangan hidup, individualitas dan sosialitasnya. Ia menyujudkan ilmunya yang sezarah, setitik abu, sebiji sawi, di tengah hamparan rahasia gung binatara. Menyujudkan posisi relatifnya di hadapan Kemutlakan Akbar. Menyujudkan kekerdilan dalam ketakjuban memasuki hamparan galaksi bintang-bintang yang tak terukur. Ya, Kekasih, bagaimana mungkin kekecilanku hendak menakar kebesaran-Mu. Bagaimana mungkin kesementaraan hendak menjangkau keabadian-Mu. Bagaimana mungkin kenisbianku hendak menghitung kemutlakan-Mu.
             Manusia, diri, pribadi dan ilmunya, bersujud. Oran gdengan tradisi tertentu melakukan sujud itu  ̶ ̶ ̶  atas petunjuk Allah sendiri  ̶ ̶ ̶  dengan merundukkan tubuh serendah-rendahnya. Menyatukan wajah  ̶ ̶ ̶  lambing diri dan pribadi itu  ̶ ̶ ̶  dengan tanah. Ketika itu diungkapkan ”Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi, hanya Ia yang berhak atas segala puji”. Ia memperoleh puncak kesadaran tentang ketinggian itu dengan sujud, dengan runduk serendah-rendahnya. Demikian pula identitas dirinya, karier dan status pribadinya, serta segala prestasi ilmu dan teknologinya: disujudkan ke Kehendak Allah.
             Rasullah Muhammad berjajji akan menemui umat-Nya  ̶ ̶ ̶  kelak  ̶ ̶ ̶  di Telaga Haudl. Seorang bertanya: Bagaimana Rasulallah tahu bahwa seseorang itu tergolong umat-Mu? Rasulullah menjawab: Memancar cahaya dari mata dan wajahmu. Cahaya itu dihasilkan oleh air wudu dan min atsarissujud, berkat tradisi sujud.
             Mesra benar janji kepada orang-orang yang bersembahyang itu. Dipilihnya tempat di telaga, bukan sungai atau samudra. Kini kita sedang menempuh perjalanan sungai yang amat panjang mengalir, bermuara dilautan gelisah dan tak menentu. Kelak kita berjumpa di telaga: airnya hening, tentram, segala kotorannya mengendap ke bawah sehingga jiwa kita menjadi bening, segalanya terlihat, jernih dan jujur. Telaga lambing muthmainnah, jiwa ning.
             Dan pertemuan itu adalah pertemuan cahaya, pertemuan saling memancarkan cahaya. Memang salat itu substansinya pencahayaan, lihatlah awal terjadinya air hujan, di samping air susu zakat, proses peragian khomar puasa, serta air madu haji di puncaknya.
             Cahaya itu sendiri, materikah atau roh? Yang jelas, cahaya tak bisa di lihat. Yang tampak oleh kita adalah benda yang ditimpa cahaya. Kalau istri kita sedang hamil, wajahnya bercahaya. Anasir biologikah cahaya itu atau rohyang memancar dari kebahagiaannya? Mengapa pula Alquran mengatakan ”Allah itu cahaya langit dan bumi”, bukan ”Allah itu mencahayai langit dan bumi”?
             Kalau kelak di capai oleh umat manusia pengetahuan baru tentang ilmu cahaya, dunia akan lebih bersujud, lebih rendah hati dan bersahaja. Kalau kelak mesjid-mesjid lebih percaya lantai dari pada permadani, kalau orang mengurangi keprluan memakai sepatu atau sandal, kehiduan akan lebih sehat, kotoran elektronik akan lebih terserap.
             Apakah kotoran elektronik itu ternyata lebih ”sungguh-sungguh” dari sekedar menaburi otak manusia? Apakah jelas tidak merupakan salah satu sumber dari kotoran peradaban abad mutakhir kita? Tak punya andilkah kotoran elektronik itu terhadap ”era kesunyian dan keterasingan jiwa” manusia modern? Terhadap tak berkembangnya daya negosiasi sejarah ”kaum non-elektronik” yang melarat? Terhadap terawatnya posisi kelas-kelas buta hak, buta hukum, buta politik di tengah jargon teknologi informasi yang dikomandani oleh syiar elektronika?
            Kalau demikian maka seluruh penghuni tata kehidupan modern yang gegap gempita dan angkuh ini memerlukan wudu dan sujud. Memerlukan proses penyerapan kotoran  ̶ ̶  back to nature  ̶ ̶ ̶  serta proses pencahayaan yang lebih hakiki. Hanya dengan itu manusia hari depan bisa di bebaskan. Mungkin itu sebabnya agama wudu dan sujud itu tidak bernama Salam, melainkan Islam. Salam artinya keselamatan, kemerdekaan. Islam artinya penyelamatan, pembebasan.

Oleh : Emha Ainun Nadjib