Makan Minum Dak Tentu



PULAU Madura, pembangunan Madura, pejabat Madura, kiai Madura, seksualitas Madura, jarang di sebut-sebut oleh media massa kita. Terus terang saja saya jadi kurang sreg.
             Bukan hanya karena watak budaya Madura termasuk saklek, efektif, dan memiliki kecenderugan ”anti-eufimisme” yang tinggi dan itu sangat relevan dengan penyakit kebudayaan kita dewasa ini. Bukan pula sekedar karena bedirinya Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dulu, kabarnya, berkat restu kiainya, Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan di sumenep, Madura. Tapi hobi orang Madura untnuk mengucapkan ”tidak tentu”  ̶ ̶  yang mereka logatkan menjadi dak tentu  ̶ ̶ yang sungguh membuat saya jatuh hati.
             Dak tentu merupakan perwujudan dari kesadaran terhadap relativitas. Di dalam praktek, ungkapan tersebut merupakan kehati-hatian yang tinggi terhadap berbagai ketidakpastian hidup. Dengan bersikap dak tentu, mereka terjaga ti tengah-tengah dua kutub nilai atau keadaan yang bisa menjebak. Kesadaran dak tentu membuat mereka tidak terlalu mabuk gembira jika memperoleh rezeki, serta tidak stress serius kalau di timpa kemalangan.
             Dulu saya kurang percaya pada hobi dak tentu, sebab yang akan saya dengar hanya anekdot-anekdot. Misalnya, kata sahibul kisah, pada zaman orla adalah seorang penjual ikan pasar Sumenep. Seorang pejabat melakukan kunjungan inkognito dengan maksud untuk mengecek secara langsung tingkat nasionalisme rakyat Madura.
             Pejabat itu bertanya, ”He Pak, siapa presiden Indonesia?”
             Sambil membungkus bandeng untuk diberikan kepada seorang pembeli, si Madura menjawab seenaknya, ”O, dak tentu, Pak!”
             Serasa di tonjok jidat sang pejabat. ”siapa presiden Indonesia” adalah pertanyaan paling gampang di selur Nusantara. Dan jawaban dak tentu sungguh-sungguh harus diwaspadai.
             Dak tentu bagaimana?” Pak Pejabat mengejar.
             ”Yaa kadang-kadang Subandrio, kadang-kadang Yusuf Muda Dalam. Pokoknya dak tentu, Pak!”
             ”Lho, kok bisa begitu?”
             ”Lha yang di teve atau gambarnya di Koran itu dak tentu!”
             Pecah rasa kepala. ”lantas kalau pak karno itu siapa?!” Pak Pejabat kita naik pitam dan membentak.
             Tetap dengan tenang pula si Madura menjawab, ”Ooo lain, Pak! Itu bukan presiden. Pak karno itu rajaaa!”
      Alkisah pejabat kita itu marah besar, lantas memanggil pejabat-pejabat pulau itu, di kimpulkan dan di suruh kor lagu wajib. Itu karena jelas terbukti bahwa nasionalisme orang Madura sangat rendah. Kabarnya para pamong daerah itu ambil suara bareng, ”Saaa….” Tapi kemudian yang dinyanyikan bukan Satu Nusa Stau Bangsa, melainkan, ”Salatullah salamullaaah…”
             Jadi, presiden dan bunyi lagu wajibpun dak tentu.
             Anekdot itu tidak saya setujui karena hendaklah kita jangan saling meremehkan di antara sesame bangsa. Tapi beberapa waktu yang lalu, legenda dak tentu itu nongol di depan hidung saya.
             Alkisah mengobrollah saya dengan seorang ustadz dari Madura. Karena sedang musim pemikiran reaktualisasi ajaran Islam, bertanyalah saya tentang teologi pembbesan Islam, system perekonomian Islam, apa benar iblis malah masuk surga, dan seterusnya. Si Ustadz tertawa dan menepis, ”Ah, koddok mau nunggang sappi! Untuk apa jauh-jauh ngurusi soal itu, sedangkan hukum makan minum saja kita belm tahu!”
             Saya membantah, ”Lho! Kan jelas sejak dulu. Makan dan minum itu hukumnya mubah. Halal. Boleh.”
             Si Madura tertawa lagi. ”Ooo, dak tentu, Dik, dak tentu!”
             Di sampan kaget oleh jawaban itu, saya juga terhenyak oleh kata dak tentu. ”Dak tentu bagaimana?” tukas saya, ”Hukum kok dak tentu?”
             ”Ya dak tentu, Dik. Kadang-kadang mubah, kadang-kadang wajib, kadang-kadang sunah, makruh, atau bahkan haram”.
             ”Bisa-bisanya begitu?”
             ”Dengar, Dik. Kalau makan minum sekedar mubah atau halal, berarti manusia boleh tidak makan dan tidak minum, karena tidak wajib. Kalau adik tak makan tak minum, berarti adik menghina Tuhan yang sudah capek-capek bikin badan Adik, bearti Adik tidak memlihara amanat Tuhan. Adik membunuh titipan Tuhan. Jadi makan minum itu wajib. Kalau Adik bisa hidup tanpa makan minum, ya hukumnya sunat, karena Adik toh dianjurkan menikmati rezeki Allah. Lha kalau Adik makan minum dalam jumlah yang melebihi standar syarat kesehatan tubuh, hukumnya makruh. Apalagi kalau Adik makan minum secara amat berlebihan baik dalam jumlah maupun ’estetika makanan-nya’, maka bisa haram hukumnya. Terlebih-lebih lagi kalau Adik makan milik orang lain, itu haram muakkad. Kalau ”orang lain” itu jumlahnya buuanyak, kitu super haram. Dan tak terbayangkan lagi kalau makan jembatan, kayu-kayu hutan, bukit-bukit, perkebunan, minum minyak, air bendungan  ̶ ̶  itu namanya duuancuk!”
             Misuh dia. ”Apa hukumnya misuh dan mengumpat?”
             ”dak tentu, Dik. Tergantung latar belakang yang mendorongnya. Alquran melarang manusia mengucapkan kata-kata kasar, kecuali dalam keadaan teraniaya. Jadi kalau tukang-tukang becak karena dimakan laut, ya silahkan misuh, insya Allah Tuhan mendengarkannya dengan iba dan rasa kasih.”
             ”Jadi…” saya tergagap, ”hukum itu dak tentu, ya?”
             ”Dak tentu, Dik. Hukum itu, kalau kata anak-anak sekolahan, tidak bersifat parsial-statis, melainkan kontekstual-dinamis. Kalau bahasa Maduranya ya dak tentu. Mencuri karena dengan niat mencuri dan mencuri karena terpojok mencuri, lain nilai hukumnya.”
             ”Tapi mengapa hakim di pengadilan tak pernah menanyakan apa ayng mneyebabkan terdakwa mencuri, atau setidak-tidaknya system hukum formal yang berlaku tidak menyediakan peluang untuk meruntut ke historisnya, dekat maupun jauh?”
             ”Ya terserah dia. Hakim itu biasanya kan sudah akil baligh. Sudah besar. Sudah bisa memilih baik buruk dengan segala resikonya.”
             ”tetapi apakah tiap akil baligh, setiap orang dewasa, pasti bisa menentukan dan memilih di antara baik buruk?”
             dak tettu, Dik”
             Saya bertanya dan bertanya terus. Nikmat benar makanan dak tentu itu….

Oleh : Emha Ainun Nadjib