Gontor, Shaolin, dan Trimurti



KALAU umat Islam ingat Pondok Gontor  ̶ ̶ ̶  kini memasuki delapan windu usianya  ̶ ̶ ̶  sebaiknya mereka berterimakasih kepada Departemen Agama, serta ”mensyukuri” bahwa dusun local pesantren masyhur itu dulu merupakan nge-gon ko-tor.
             Nggon itu tempat, Nggon kotor itu tempat maksiat kronis, malima, judi, zinah, maling, dan sebagainya, yang pada zaman modern ini menjadi pemandangan jamak.
             Kekotoran kehidupan masyarakat di wilayah selatan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu merupakan setting cultural yang memompa ”dendam yang baik” sehingga pendirian dan penumbuhan Pesantren Gontor di motori dengan cita-cita yang seluhur-luhurnya serta dengan ”setamina sejarah” yang setinggi-tingginya. Sang Trimurti  ̶ ̶ ̶  demikian K.H. Sahal, K.H. Zaenudin Fanani, K.H. Imam Zarkasyi, the founding fathers pesantren ini menyebut diri mereka  ̶ ̶ ̶ ̶  dengan dibilang dengan tekun dan sabar menyelenggarakan suatu transformasi sejarah mina-dlulumatiila-nnur, dari kegelapan menuju cahaya.
             Dari segi fisik saja, jika Anda melihatnya dari atas dengan helikopter, Pesantren Gontor adalah mercu suar yang terang benderang di tengah rerimbunan dusun-dusun yang dibalik grumbul-grumbulnya  ̶ ̶ ̶  dulu  ̶ ̶ ̶  anda boleh mengintip kemaksiatan. Bangunan-bangunan modern, cahaya memancar sebelum ada proyek Listrik Masuk Desa, tampak berkeliaran santri-santri aneh yang berbahasa Inggris dan Arab setiap saat  ̶ ̶ ̶  juga tatkala mengigau atau menjadi tiffosi sepakbola, berkumandang tilawah Quran dan Puisi Abu Nawas yang nakal, gegap gempita tepuk tangan ribuan santri mendengar para orator remaja, atau trompet melengking-melengking dan bel-bel berdenting menandai pergantian aktivitas-aktivitas 18 jam non-stop.
             Sebuah camp yang ketat padepoklan ”Shaolin” yang ”disiplin” gila yang menggelinding total sistematik. Pada awal dan akhir semesteran, sang kiai berpidato 56 jam nonstop hanya dengan diselingi salat dan makan. Disusul Tengko, teng komando: saat para pemuka santri di kamar-kamar pemondokan memaparkan juklak dan jurnis secara lisan. Tek ada peraturan tertulis. Peraturan harus diproses menjadi bagian kualitas kesadaran, pikiran, dan naluri.
             Ini pesantren tak NU tak Muhammadiyah, para santri digodog dalam atmosfer untuk tumbuh menjadi ”perangkat umat”. Untuk tidak menawar-nawar akidah tapi toleran dalam khilaffiah hukum dan aliran. Santri tidak mencium tangan siapapun, iklim budaya mereka egaliter dan universal Penghormatan tidak pada atasan  ̶ ̶ ̶  dalam konteks hierarki feodalisme  ̶ ̶ ̶  melainkan kepada kesalehan, ilmu, dan perjanjian fungsi. Dalam permainan sepakbola melawan para ustadz, bola tidak harus disodorkan ke kaki ustadz seperti harus membidik bola tenis agar tahu dan menendangi tempat pak bupati berdiri. Kalu ada oknum guru yang suka ngencing, ”boleh”-lah sedikit ”balas dendam” dilapangan dengan malakukan sliding tackle yang agak nakal.
             Ditengah itu semua, para santri punya banyak hak suara untuk menggas siapa yang terbaik menjadi kiai, direktur akademis, penyelia muhadarah (latihan lomba ekspresi), atau Qismul Amn, Departemen Keamanan. Para Trimurti almarhum, terutama si bungsu Imam Zarkashi, yang buku tentangnya sedang dipersiapkan, adalah ”oknum-oknum” yang tidak terutama mengader ”oknum penerus,” melainkan mewariskan sistem.
             Tidak berarti pesantren tidak butuh figur kiai. Juga pergeseran dari kepemimpinan personal ke kepemimpinan sistematik atau impresional bukanlah bukti modernitas satu-satunya yang benar dan menjamin. Masyarakat pesantren yan termodern pun tetap lapar symbol dan charisma. Sistem ”demokrasi kerakyatan” terapan Gontor itu justru menjaga agar figure dan charisma kiai berperan, tatap atau bisatampil obyektif dan rasionaltanpa kehilangan ”magi”-nya.
             Pesantren Pabelan, Jawa Tengah, pada tahap sekarang gagal melakukan transformasi semacam itu, sehingga sang kiai, yang semula ”berkeliaran” di luar pondok, sekarang kembali jadi ”oknum”, menadi nukleus pesantren. Barangkali karena Gontor, bapaknya Pabelan, memang sudah lebih tua, sehingga tajribah, atau eksperimen kepemimpinan impersonalnya tidak premature.
             Kadar gairah pematangan Gontor itu, saya maklumi, bisa sedemikian kental karena tak hanya ng-Gon ko-tor, tetapi juga karena Kiai Zarkasyi pada waktu itu ”kalah perang” di Departemen Agama. Tanding konsep melawan Drs. Sigit tentang orientasi kurikulum sekolah-sekolah Islam. Konsep Sigit yang gol, dan diterapkan sampai hari ini.
             Kiai Zarkasyi tidak cenderung mencetak ”Intelektual Islam”, melainkan mendidik kader ulama yang berpengetahuan umum. Umum dalam arti ilmu-ilmu actual dunia modern. Bagi Zarkasyi, belajar fisika, biologi, atau astronomi bukanlah ”non-Islam”, sepanjang si pelajar menyikapi secara Islam. Di Gontor berlaku 100% pelajaran Islam, 100% persen pelajaran umum. Islam dan umum tidak karena materinya, tapi karena perlakuan terhadap materi itu. Karena itu, seorang mikrobiolog adalah juga seorang ulul-albab atau ulama selama ia melakukan penghayatan dan memfungsikan ilmunya dalam rangka tauhid. Setiap pemanfaatan ilmu, metode, dan teknologi untuk kesejahteraan murni manusia adalah tauhid atau penyatuan dengan kehendak Allah.
             Namun gagasan Zarkasyi tak berlaku. Anak-anak sekolah Islam dipusatkan pada pelajaran tarikh Islam, akidah, cara berwudu, memperdebatkan bagaimana salat di pesawat Colombia…. Segmen-segmen itu saja yang dianggap Islam.
             Maka, si bungsu Trimurti pulang kampong, bikin camp. ”kami tidak member ilmu, melainkan membekali kalian alat-alat untuk mencari ilmu” ̶ ̶ ̶  demikian yang selalu ditekankannya. Ia tidak memberi ”baju”, tetapi insiatif untuk mengubah ”kapas” menjadi apa saja. Ia ”membuka”, bukan ”menutup” ̶ ̶ ̶  termasuk keterbukaan transformasi dalam mekanisme kehidupan pesantren mereka sendiri.

Yogyakarta, 4 Agustus 1990
Oleh : Emha Ainun Nadjib