Kiai Kanjeng - Manungso

manungso
aja ngumbar nafsu lan angkaro
anggonmu
urip ning ngalam ndonyo

para Malaikat
juru pati
Nglirak anglrik
sak kiwa lan tengen ira

anggone ngelrik
iku malaikat
krana arep njabut
sukma ya nyawan ira

anggone
njabut nyawa iku malaikat
ngenteni
dawuhe ingkang maha mulya

manungso
aja ngumbar nafsu lan angkaro

man on the land
don’t surrender to your greed and desire

anggonmu
urip ning ngalam ndonyo

on this short life
on this blind life of yours

man on the land
don’t surrender to your greed and desire

on this short life
on this blind life of yours

man on the land
don’t surrender to your greed and desire

on this short life
on this blind life of yours

when you believe
you have an angle

that stay by your side
there on
there on your sight

while you never know
the angle is…
the angle is…
an angle
ooo

Cangkruk kaping pinten

sembarang kaler, yang namanya orang cangruk itu menikmati santai, yg namanya santai itu pokoknya apapun dianggap santai.

seperti biasa dengan secangkir kopi dan ududh bebacotpun sedikit-dikit dimulai, ada ingatan lagi mengenai beberapa perjalanan hidup yang sudah dilalui, mengenai ungkapan teman atau mungkin dianggap guru oleh saudara laki-laki saya tentang indonesia bahwa "indonesia itu ada mungkin ya bebera puluh tahun lagi". berfikir ulang mengenai apa yang sudah diobrolkan sepertinya iya bahwa bisa jadi indonesia sudah tidak ada. sudah beberapa kali saya keluar masuk bekerja di dunia industri dan pastinya lagi-lagi dihadapkan dengan sistem. kita hidup dizaman ini sepertinya sedang menuju kehancuran, bagaimana tidak,

Perjanjian di Telaga



INGIN saya bertanya, tapi tak tahu pada siapa. Benarkah para astronaut, setidaknya para astronaut tertentu, sebelum mengangkasa, terlebih dahulu membasuh mukanya dengan air, lantas membungkuk menyentuhkan keningnya di tanah. Tak diusapnya debu itu, sampai menipis melenyap oleh angin yang menyapu.
             Di sekitar otak, atau bahkan mungkin di dalam otak, bisanya ada semacam kotoran elektronik  ̶ ̶ ̶  wallahualam apakah itu dalam pengertian materi atau spirit, seperti juga sang otak itu sendiri: benda ataukah jiwa, segumpal dagingkah atau anasir roh. Atau kita sebut saja benda yang berfungsi intelektual dan rohaniah.
             Sang astronaut dapat diganggu oleh kotoran elektronik itu nun dia ngkasa: kapasitas kecerdasannya, stamina kerjanya, tingkat mobilitasnya, intenensitas konsentrsinya, atau kejernihan daya pandang dan analisanya. Hanya debu yang sangup mengeliminasi, menyerap kotoran itu. Entah mahluk macam apa debu itu gerangan. Mungkin merupakan komposisi antara bebrapa unsur alam dengan satu dua komponen rahasia. Hanya para ilmuanlah yang sanggup menjawabnya, sehingga kita di tuntun juga untuk menjelaskan kenapa timpaan air liur anjing hendaknya dicuci dengan debu tujuh kali, atau kenapa sang Paus dari arsy Vatikan itu selalu mencium tanh terlebih dahulu begitu tiba di suatu tempat di permukaan bumi. Adakah itu klenik belaka, atau mitos. Atau semacam ritual romantic yang melambangkan persekutuan cinta dengan semesta alam. Atau merupakan wilayah pengetahuan yang belum kita jamah sehingga kita simplifikasi saja dengan menganggapnya mitos.
             Dan air. Siapakah yang bermurah hati bersedia menjelaskan secara indah hal-hal yang menyangkut air. Unsure H20 pasti hanya kulit permukaan hakikat air. Efektivitas danmagi apa gerangan yang terjadi ketika air alam diusapkan kewajah kita. Anak-anak kecil bertanya tentang wudu: kenapa yang kentut anus tapi yang dicuci kok wajah? Kita menjawab: Karena kita merasa malu sehabis kentut, tangan kita bukannya bergerak menutupi sela antara dua pantat, melainkan menutupi wajah. Karena begitu kentut berbunyi, darah kita diperintah Allah untuk spontan berlari untuk tidak menuju anus, melainkan menuju wajah, sehingga merah muka kita.
             Wajah adalah wakil utama diri dan pribadi. Diri itu esensial, pribadi itu eksistensial. Diri pribadi di cuci bukan hanya harus mencapai kondisi terbaik, tapi juga jarena merasa butuh bersih, rasa suci, dan itu syarat untuk percaya diri. Mungkin ”wajah dibasahi air” mengantarkan manusia tak sekedar menuju rasa bersih dan rasa suci, namun kebersihan dankesucian itu sendiri? Dengan kata lain, cuci muka itu bukan sekedar sugesti yang berlaku subyektif, melainkan suatu metode obyektif.
             Orang dengan tradisi tertentu menyebut cuci wajah itu sebagai inti wudu. Dan astronaut yang menyentuhkan keningnya ke tanah adalah bersujud. Astronaut ”berwudu” sebelum bersembahyang diangkasa awing-awang, di wilayah rawan tempat nasib nyawa manusia bergantung pada kadar percintaannya dengan Sang Kekasih Agung. Cinta hanya bisa dipentaskan oleh diri dan pribadi yang diusahakan sebersih dan sesuci mungkin.
             Di angkasa, astronaut itu bersujud. Menyadari kekecilannya. Ke-debu-annya di tengah semesta agung. Ia menyujudkan diri: segala proses ada-tiadanya. Ia menyjudkan pribadi: petualangan hidup, individualitas dan sosialitasnya. Ia menyujudkan ilmunya yang sezarah, setitik abu, sebiji sawi, di tengah hamparan rahasia gung binatara. Menyujudkan posisi relatifnya di hadapan Kemutlakan Akbar. Menyujudkan kekerdilan dalam ketakjuban memasuki hamparan galaksi bintang-bintang yang tak terukur. Ya, Kekasih, bagaimana mungkin kekecilanku hendak menakar kebesaran-Mu. Bagaimana mungkin kesementaraan hendak menjangkau keabadian-Mu. Bagaimana mungkin kenisbianku hendak menghitung kemutlakan-Mu.
             Manusia, diri, pribadi dan ilmunya, bersujud. Oran gdengan tradisi tertentu melakukan sujud itu  ̶ ̶ ̶  atas petunjuk Allah sendiri  ̶ ̶ ̶  dengan merundukkan tubuh serendah-rendahnya. Menyatukan wajah  ̶ ̶ ̶  lambing diri dan pribadi itu  ̶ ̶ ̶  dengan tanah. Ketika itu diungkapkan ”Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi, hanya Ia yang berhak atas segala puji”. Ia memperoleh puncak kesadaran tentang ketinggian itu dengan sujud, dengan runduk serendah-rendahnya. Demikian pula identitas dirinya, karier dan status pribadinya, serta segala prestasi ilmu dan teknologinya: disujudkan ke Kehendak Allah.
             Rasullah Muhammad berjajji akan menemui umat-Nya  ̶ ̶ ̶  kelak  ̶ ̶ ̶  di Telaga Haudl. Seorang bertanya: Bagaimana Rasulallah tahu bahwa seseorang itu tergolong umat-Mu? Rasulullah menjawab: Memancar cahaya dari mata dan wajahmu. Cahaya itu dihasilkan oleh air wudu dan min atsarissujud, berkat tradisi sujud.
             Mesra benar janji kepada orang-orang yang bersembahyang itu. Dipilihnya tempat di telaga, bukan sungai atau samudra. Kini kita sedang menempuh perjalanan sungai yang amat panjang mengalir, bermuara dilautan gelisah dan tak menentu. Kelak kita berjumpa di telaga: airnya hening, tentram, segala kotorannya mengendap ke bawah sehingga jiwa kita menjadi bening, segalanya terlihat, jernih dan jujur. Telaga lambing muthmainnah, jiwa ning.
             Dan pertemuan itu adalah pertemuan cahaya, pertemuan saling memancarkan cahaya. Memang salat itu substansinya pencahayaan, lihatlah awal terjadinya air hujan, di samping air susu zakat, proses peragian khomar puasa, serta air madu haji di puncaknya.
             Cahaya itu sendiri, materikah atau roh? Yang jelas, cahaya tak bisa di lihat. Yang tampak oleh kita adalah benda yang ditimpa cahaya. Kalau istri kita sedang hamil, wajahnya bercahaya. Anasir biologikah cahaya itu atau rohyang memancar dari kebahagiaannya? Mengapa pula Alquran mengatakan ”Allah itu cahaya langit dan bumi”, bukan ”Allah itu mencahayai langit dan bumi”?
             Kalau kelak di capai oleh umat manusia pengetahuan baru tentang ilmu cahaya, dunia akan lebih bersujud, lebih rendah hati dan bersahaja. Kalau kelak mesjid-mesjid lebih percaya lantai dari pada permadani, kalau orang mengurangi keprluan memakai sepatu atau sandal, kehiduan akan lebih sehat, kotoran elektronik akan lebih terserap.
             Apakah kotoran elektronik itu ternyata lebih ”sungguh-sungguh” dari sekedar menaburi otak manusia? Apakah jelas tidak merupakan salah satu sumber dari kotoran peradaban abad mutakhir kita? Tak punya andilkah kotoran elektronik itu terhadap ”era kesunyian dan keterasingan jiwa” manusia modern? Terhadap tak berkembangnya daya negosiasi sejarah ”kaum non-elektronik” yang melarat? Terhadap terawatnya posisi kelas-kelas buta hak, buta hukum, buta politik di tengah jargon teknologi informasi yang dikomandani oleh syiar elektronika?
            Kalau demikian maka seluruh penghuni tata kehidupan modern yang gegap gempita dan angkuh ini memerlukan wudu dan sujud. Memerlukan proses penyerapan kotoran  ̶ ̶  back to nature  ̶ ̶ ̶  serta proses pencahayaan yang lebih hakiki. Hanya dengan itu manusia hari depan bisa di bebaskan. Mungkin itu sebabnya agama wudu dan sujud itu tidak bernama Salam, melainkan Islam. Salam artinya keselamatan, kemerdekaan. Islam artinya penyelamatan, pembebasan.

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Melodi Perjalanan



SAYA undang orang yang sama sekali tidak terkenal itu untuk tampil pada acara ”Bintang dan Kiai baca puisi”, meskipun jelas ia bukan bintang film dan tak pernah pula diberi label kiai oleh siapapun.
             Acara di kampus UGM luar biasa meriah. Suara gelak tawa dan tepuk tangan 6.000 penonton lebih memenuhi tiga jam acara. Tapi jago saya ini, kalau dihitung berdasarkan ilmu  pentas, paling jelek penampilannya. Duduk bersila, dengan gerak-gerik seperti sedang berada di biliknya, serta dengan sorot mata yang tidak mencerminkan bahwa ia sedang dihadapi oleh ribuan penonton. Ia membaca puisi dengan suara pelan, datar, tanpa dramatik, tanpa greget.
             Saya jadi gregetan. Ia sama sekali tidak berubah baik ketika orang diam mendengarkan, orang rebut sendiri, atau bahkan ketika orang meneriakinya. Sesudah pementasan ia juga tidak tampak bergembira oleh apa pun atau menyesali apa pun.
             Jelas ia tak punya konsep sama sekali tentang hakikat pementasan kesenian, tak punya wawasan tentang peristiwa komunikasi sosisal, serta tidak memiliki imajinasi terhadap citra cirinya sendiri di depan orang banyak. Sudah pasti Putu Wijaya perlu mengajarinya tentang vitalitas, Rendra perlu menasehatinya tentang gelobang dialektika dengan rasa dan pikiran penonton, sementara Arifin C. Noer perlu memberikan kepadanya soal hukum-hukum estetika.
             Baru beberapa hari kemudian pikiran saya agak tergeser. Saya ingat ketika putra orang itu meninggal dunia, ia sama sekali tidak bersedih, bahkan tak ada seserpih perubahan pun di air mukanya. Ia mengendong bungkusan jenazah anaknya kekuburan: ”Tuhan, maafkan aku dan keluargaku yang Kau nilai tidak mampu membawa anak ini kepada-Mu, hingga engkau sendiri langsung turun tangan mengambilnya…”  ̶ ̶ ̶  lantas dikuburkan, dan ia tersenyum.
             Sekarang saya berfikir kalau Gunung Merapi meledak, pasti air mukanya tidak berganti ekspresi. Dan kalau Pulau Jawa terbelah menjadi lima, ia tidak akan mengernyitkan dahi. Ia tetap ia. Hatinya tidak pernah cedera. Jiwanya tak reatak. Rupanya itu yang dinamakan Istiqomah. Tegak sembahyang, dihadapannya hanya Allah. Dunia dan kehidupan ini sekedar formalitas birokrasi sejenak, atau semacam upacara kecil menjelang masuk kantor, meskipun ia tahu bahwa segala aturan upacara itu harus dilaksanakan secara adil dan penuh disiplin, serta fasilitas-fasilitasnya harus disediakan secara seksama.
             Terus terang saya cukup berjasa kepada orang itu dalam soal bikin puisi sehingga ia sanggup tampil malam itu. Di rumah, ketika ngobrol dengan kawan-kawan, saya tak tahan mendengarkan. Tak mampu saya menelan mutiara-mutiara dalam bentuk puisi. Tergesa dan serabutan, tapi Alhamdulillah ada goresan puisi yang saya tuliskan. Saya sodorkan kepadanya, ”ini puisi Anda,” kata saya.
             Maka sesudah tengah malam, ketika teman-teman bubar, untuk pertama kalinya dimuka bumi ia menuliskan sendiri puisi-puisi. Hasilnya, gila! Saya harus menggunakan hak saya untuk mengagumi ”penyair pemula” ini, meskipun dalam kosmos tasawuf, dan kekaguman itu tergolong mental primordial.
            
aku musafir
pencari ’ya’
berbekal ’tidak’
di lembah dusta

’di sini’ persinggahanku
’kini’ meja makananku
bertenda cinta
berlantai duka

kerjaku memungut sisa
dari jalan manusia
semua yang dia buang
bagiku tersayang

diam tak bergeming istriku
baik dan buruk sahabatku
teknisku salah benar
hobiki kebohongan


mari berjalan
tak usah bergandeng tangan
yang masih saying dirinya selamat tinggal

             puisi berjudul ”Melodi Perjalananku” ini adalah karya pertama seorang makelar jual beli keris. Seorang dukun-tak-sengaja yang diminta orang menyembuhkan kanker, gia, santet, atau sakit apa saja. Seseorang yang didaulat banyak untuk memberi pengajian-pengajian. Seorang suami yang yakin Allah melarangnya untu kpernah punya niat mencari uang, uang tak datang, tapi kalau ia kerjakan apa saja yang ia rasa wajib ia kerjakan dengan niat kerja itu sendiri, maka jadilah uang. Seseorang yang tiba-tiba jadi menyair….
            Jadi bagaimana dan dimana sih sebenarnya wilayah proses kreatif kepenairan? Di negri ini terdapat banyak penyair, dan orang ini tidak tergolong didalamnya. Bisa dimaklumi, karena yang ia tulis bukan puisi, melainkan keadaan hidup. Menulis puisi amatlah sukarnya, tetapi mengarungi rohani kehidupan dengan mata kejernihan seperti yang sanggup dilakukan oleh orang itu, jauh lebih amat sukar.

Oleh : Emha Ainin Nadjib

Mencintai dan Membenci



TIDAK seorang manusia pun pernah benar-benar kehilangan cinta. Karena itu, pembunuhan yang sebenarnya tidak pernah bisa dipahami. Jika ketika orang pernah menjadi ter-jahat, ter-bandit, ter-penghianat, ter-gali, bahkan ter-binatang dan ter-setan, kita yang menikamkan pedang di dadanya mencatat suatu tingkat kebinatangan yang lebih tinggi dari sang mayat.
             Juga ketika Tuhan mengucap kun! Dan mencipta, temanya adalah drama cinta kasih, termasuk kepada siapa pun yang sampai akhir hayatnya gagal gagal berkenalan dengan-Nya. Tuhan mungkin menghukum atau memaafkannya, dan itu urusan-Nya. Tetapi kita mampu berbuat melebihi-Nya. Karena tiadanya jaminan keamanan di dalam kebersamaan, manusia terpojok untu kmeyakini hukum-hukum, kemudian juga meyakini hukuman-hukuman. Pada gilirannya ia menjadi yakin akan pembunuhan-pembunuhan. Bisa atas nama-Nya, bisa pura-pura atas nama-Nya, bisa juga untuk hal-hal yang tak terlalu berhubungan dengan-Nya. Manusia mampu membunuh saudaranya.
             Membunuhnya, mengusirnya, mencabut dari ibunya, tanahnya, raganya. Membunuhnya, bahkan berates, beribu, berjuta-juta. Untuk mengamankan kekuasaan, menertibkan keadaan, memelihara ketegangan antargolongan, mengadu domba kebangsaan-kebangsaan, menjaga harga satuan mata uang, menstabilkan penindasan  ̶ ̶ ̶  atau orang yang membunuh saudaranya karena tak dianggap saudara dan dipojokkan oleh kekuasaan dan permusuhan.
             Manusia mampu membunuh saudaranya. Dan makin mampu ketika ia makin pintar, terpelajar, berkembang dan maju, memegahkan peradabannya dengan alat pendeteksi langit, filsafat yang menukiki kebenaran, dan puisi yang mengindahkan naluri kemanusiaan, pun rumus-rumus bertinta emas yang memadatkan bumi menjadi sebutir kerikil di dubur.
             Lokomotif sejarah yang bernama politik, yang menyeret dan menentukan arah gerbong-gerbong kemanusiaan, telah ada dan akan terus menjadi begitu penting, juga untuk membunuh para penumpangnya. Asap lokomotif mampu menyebar ke dalam gerbong, merasukkan bau dan kuman yang membikin para penumpang mabuk, mengamuk, bunuh-membunuh. Perang brubuh berlangsung bisa hanya sehari dua atau sebulan dua, tapi kuman yang tertanam di sel-sel otak dan perasaan bisa tak hilang untuk seabad.
             Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak tahu secara tepat apa yang sebenarnya berlangsung di dalam sejarah, karena sejarah ialah buku roman yang bergantung pada pengarangnya, atau beberan panggung sandiwara yang ditentukan oleh sutradara. Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak peduli kepada itu semua. Ada kemungkinan para cerdik pandai hanya menjadi tinta sejarah, yang terserah pada pena penulisnya. Ada kemungkinan, para cendikiawan sejarah, dengan rela atau terpaksa, berperan hanya sebagai sesuatu yang disejarahkan.
             Juga ada kemungkinan, amat sedikit diantara mereka yang bisa menjawab pertanyaan Anda, umpamanya, berapa orang persisnya yang mati di negeri ini selama 1984. Syukur tahun-tahun sebelumnya, misalnya, 1965-1966. Anda barangkali juga menginginkan analisa kualitatif yang mengklasifikasikan sebab-sebab kematian, untuk menjadi bahan Anda membenarkannya, untuk bergembira atau berduka.
             Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Orang mati gampang dilupa, terutama oleh para pembunuh atau orang-orang yang mensyukuri kematiannya. Namun barangkali tidak oleh mereka yang berada dipihak kematiannya, apalagi oleh anak-anak yang di besarkan oleh kenangan kematian seseorang yang, meskipun dianggap sampah, amat dicintainya.
             Tahukah kita, demi kejujuran sejarah, berapa jumlah anak-anak demikian? Jiwa-jiwa putih yang kita muncrati darah, sehingga begitu membenci bukan saja pedang dan senapan, tapi juga tampang kita, baju kita, kalimat-kalimat kita, agama kita, Tuhan kita. Kejiwaan mereka bergerak di dasar lautan, di arus bisu timbunan sejarah, mendekap dosa-dosa kita di relung kenangannya yang kekal.
             Anak-anak kita sendiri menjadi begitu terbiasa dengan pembunuhan yang dikehendaki, kematian yang disyukuri. Mungkin melihat, mungkin mendengar. Tapi jelas, nak-anak itu meniru, dan memang kita ajari, untuk menyukai apa yang kita sukai dan membenci apa yang kita benci. Anak-anak  juga berdoa dan mengutuk, seperti doa dan serapah kita.
               Anak-anak disiapkan Tuhan untuk mencintai dan membenci apa-apa yang pantas dicintai dan dibenci. Kita yang mengajari, meluruskan, membelokkan, atau membalikkan kepantasannya. Besok pagi, ada kemungkinan, mereka kaget menilai ajaran kita. Lusa mereka berhimpun dan bergerak meluruskan kita, atau justru membelokkan, membalikkan, memasukkan kita ke bawah nisan terkutuk, persis seperti yang kita lakukan atas hari demi hari yang menyuruk ke masa silam.

25 Mei 1985
Oleh : Emha Ainun Nadjib

Gontor, Shaolin, dan Trimurti



KALAU umat Islam ingat Pondok Gontor  ̶ ̶ ̶  kini memasuki delapan windu usianya  ̶ ̶ ̶  sebaiknya mereka berterimakasih kepada Departemen Agama, serta ”mensyukuri” bahwa dusun local pesantren masyhur itu dulu merupakan nge-gon ko-tor.
             Nggon itu tempat, Nggon kotor itu tempat maksiat kronis, malima, judi, zinah, maling, dan sebagainya, yang pada zaman modern ini menjadi pemandangan jamak.
             Kekotoran kehidupan masyarakat di wilayah selatan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, itu merupakan setting cultural yang memompa ”dendam yang baik” sehingga pendirian dan penumbuhan Pesantren Gontor di motori dengan cita-cita yang seluhur-luhurnya serta dengan ”setamina sejarah” yang setinggi-tingginya. Sang Trimurti  ̶ ̶ ̶  demikian K.H. Sahal, K.H. Zaenudin Fanani, K.H. Imam Zarkasyi, the founding fathers pesantren ini menyebut diri mereka  ̶ ̶ ̶ ̶  dengan dibilang dengan tekun dan sabar menyelenggarakan suatu transformasi sejarah mina-dlulumatiila-nnur, dari kegelapan menuju cahaya.
             Dari segi fisik saja, jika Anda melihatnya dari atas dengan helikopter, Pesantren Gontor adalah mercu suar yang terang benderang di tengah rerimbunan dusun-dusun yang dibalik grumbul-grumbulnya  ̶ ̶ ̶  dulu  ̶ ̶ ̶  anda boleh mengintip kemaksiatan. Bangunan-bangunan modern, cahaya memancar sebelum ada proyek Listrik Masuk Desa, tampak berkeliaran santri-santri aneh yang berbahasa Inggris dan Arab setiap saat  ̶ ̶ ̶  juga tatkala mengigau atau menjadi tiffosi sepakbola, berkumandang tilawah Quran dan Puisi Abu Nawas yang nakal, gegap gempita tepuk tangan ribuan santri mendengar para orator remaja, atau trompet melengking-melengking dan bel-bel berdenting menandai pergantian aktivitas-aktivitas 18 jam non-stop.
             Sebuah camp yang ketat padepoklan ”Shaolin” yang ”disiplin” gila yang menggelinding total sistematik. Pada awal dan akhir semesteran, sang kiai berpidato 56 jam nonstop hanya dengan diselingi salat dan makan. Disusul Tengko, teng komando: saat para pemuka santri di kamar-kamar pemondokan memaparkan juklak dan jurnis secara lisan. Tek ada peraturan tertulis. Peraturan harus diproses menjadi bagian kualitas kesadaran, pikiran, dan naluri.
             Ini pesantren tak NU tak Muhammadiyah, para santri digodog dalam atmosfer untuk tumbuh menjadi ”perangkat umat”. Untuk tidak menawar-nawar akidah tapi toleran dalam khilaffiah hukum dan aliran. Santri tidak mencium tangan siapapun, iklim budaya mereka egaliter dan universal Penghormatan tidak pada atasan  ̶ ̶ ̶  dalam konteks hierarki feodalisme  ̶ ̶ ̶  melainkan kepada kesalehan, ilmu, dan perjanjian fungsi. Dalam permainan sepakbola melawan para ustadz, bola tidak harus disodorkan ke kaki ustadz seperti harus membidik bola tenis agar tahu dan menendangi tempat pak bupati berdiri. Kalu ada oknum guru yang suka ngencing, ”boleh”-lah sedikit ”balas dendam” dilapangan dengan malakukan sliding tackle yang agak nakal.
             Ditengah itu semua, para santri punya banyak hak suara untuk menggas siapa yang terbaik menjadi kiai, direktur akademis, penyelia muhadarah (latihan lomba ekspresi), atau Qismul Amn, Departemen Keamanan. Para Trimurti almarhum, terutama si bungsu Imam Zarkashi, yang buku tentangnya sedang dipersiapkan, adalah ”oknum-oknum” yang tidak terutama mengader ”oknum penerus,” melainkan mewariskan sistem.
             Tidak berarti pesantren tidak butuh figur kiai. Juga pergeseran dari kepemimpinan personal ke kepemimpinan sistematik atau impresional bukanlah bukti modernitas satu-satunya yang benar dan menjamin. Masyarakat pesantren yan termodern pun tetap lapar symbol dan charisma. Sistem ”demokrasi kerakyatan” terapan Gontor itu justru menjaga agar figure dan charisma kiai berperan, tatap atau bisatampil obyektif dan rasionaltanpa kehilangan ”magi”-nya.
             Pesantren Pabelan, Jawa Tengah, pada tahap sekarang gagal melakukan transformasi semacam itu, sehingga sang kiai, yang semula ”berkeliaran” di luar pondok, sekarang kembali jadi ”oknum”, menadi nukleus pesantren. Barangkali karena Gontor, bapaknya Pabelan, memang sudah lebih tua, sehingga tajribah, atau eksperimen kepemimpinan impersonalnya tidak premature.
             Kadar gairah pematangan Gontor itu, saya maklumi, bisa sedemikian kental karena tak hanya ng-Gon ko-tor, tetapi juga karena Kiai Zarkasyi pada waktu itu ”kalah perang” di Departemen Agama. Tanding konsep melawan Drs. Sigit tentang orientasi kurikulum sekolah-sekolah Islam. Konsep Sigit yang gol, dan diterapkan sampai hari ini.
             Kiai Zarkasyi tidak cenderung mencetak ”Intelektual Islam”, melainkan mendidik kader ulama yang berpengetahuan umum. Umum dalam arti ilmu-ilmu actual dunia modern. Bagi Zarkasyi, belajar fisika, biologi, atau astronomi bukanlah ”non-Islam”, sepanjang si pelajar menyikapi secara Islam. Di Gontor berlaku 100% pelajaran Islam, 100% persen pelajaran umum. Islam dan umum tidak karena materinya, tapi karena perlakuan terhadap materi itu. Karena itu, seorang mikrobiolog adalah juga seorang ulul-albab atau ulama selama ia melakukan penghayatan dan memfungsikan ilmunya dalam rangka tauhid. Setiap pemanfaatan ilmu, metode, dan teknologi untuk kesejahteraan murni manusia adalah tauhid atau penyatuan dengan kehendak Allah.
             Namun gagasan Zarkasyi tak berlaku. Anak-anak sekolah Islam dipusatkan pada pelajaran tarikh Islam, akidah, cara berwudu, memperdebatkan bagaimana salat di pesawat Colombia…. Segmen-segmen itu saja yang dianggap Islam.
             Maka, si bungsu Trimurti pulang kampong, bikin camp. ”kami tidak member ilmu, melainkan membekali kalian alat-alat untuk mencari ilmu” ̶ ̶ ̶  demikian yang selalu ditekankannya. Ia tidak memberi ”baju”, tetapi insiatif untuk mengubah ”kapas” menjadi apa saja. Ia ”membuka”, bukan ”menutup” ̶ ̶ ̶  termasuk keterbukaan transformasi dalam mekanisme kehidupan pesantren mereka sendiri.

Yogyakarta, 4 Agustus 1990
Oleh : Emha Ainun Nadjib