Para imam sembahyang, ketika mengimami shalat Id, suaranya menjadi lain. Ada getaran khusus, mungkin oktafnya meninggi, atau seperti ada pekikan, meskipun suaranya pelan dan rendah. Maka, bunyi Allahu Akbar, yang tiap hari terdengar, mencapai ekstasenya pada shalat Id. Maka, betapakah runtutan ekstase suara terdalam makhluk Allah itu dari tempat ke tempat di seluruh permukaan bumi, pada pagi hari pertama bulan Syawal?
Musik Mahaagung.
Mengapa shalat Id mesti
kita lakukan bersama bangkitnya matahari? Allah saja yang mempertimbangkannya,
adapun kita hanya tahu satu jawaban: Allahu Akbar yang menggetarkan itu
bergaung sesudah kegelapan malam berlalu.
Kegelapan dan malam. Kita
mafhum betapa luas artinya.
Kegelapan malam dihapus
oleh cahaya pagi hari. Pagi itu abadi. Berjalan melata di bumi sepanjang waktu.
Pagi tak pernah siang. Yang mengalami perubahan menuju siang hanyalah kita,
yang bertempat tinggal di suatu tempat, yang tidak bisa membawa darah daging
ini untuk terus mengejar pagi kehidupan.
Maka, setiap kali pagi
akan lewat kembali dari hidup kita, menuju siang dan ambang senja, kemudian
membusuk ke cengkeraman malam, untuk menemukan kembali pagi Allahu Akbar kita.
Maka memang hanya rohani kita yang sanggup mengabadi, bagai pagi.
Tetapi anggaplah pada pagi
Idul Fitri ini kita berada di angkasa raya. Duduk di sisi matahari. Memandangi
gerak lambat putaran dan edaran bumi. Kita dekatkan mata ke permukaannya. Maka
kita dapat menyaksikan dataran ombak maha luas, yang gerak gelombangnya terdiri
atas beribu-ribu orang berukuk bersujud, yang bergiliran sesuai dengan tempat
demi tempat yang berurutan garis, warna-warni, sapuan-sapuan dan getaran.
Keagungan apa gerangankah ia?
Teater mahabesar.
Teater bukan dalam arti
sandiwara atau pertunjukan, melainkan semacam estetika keilahian yang sudah
berangkat merdeka. Kesenian sejati yang sudah tidak mempertunjukkan diri,
karena itu bernama tauhid. Tauhid bukanlah “men-satu-kan” Tuhan. Tauhid
ialah menggerakkan diri, menggabung, ke Allah yang Esa.
Pada setiap Idul Fitri,
kita pandangi permukaan bumi dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan yang lebih besar
dari kumpulan manusia untuk mentauhid, meleburkan egonya ke Mahaego yang –kita
tahu- tidak egoistik itu.
Allahu Akbar. Idul Fitri
menjadi puncak ekstase tauhid kaum muslimin, namun bukan lantas telah selesai.
Setiap orang akan “terengah-engah” sesudah ekstase itu dan kembali belajar
menyebut Allah sebagai kabir –berarti Mahabesar- untuk kemudian di setiap penghujung
Ramadan, dan menyebut-Nya Akbar, yang berarti Maha Lebih Besar. Ekstase yang ia
alami adalah tergeleparnya Musa di Gunung Tursina.
Itu adalah puncak
ketakjuban, dan pingsan.
Setiap hari, setiap muslim
mengasah “radar” ketakjuban itu. Umpamanya dengan berwudhu: membersihkan,
memfitrikan seluruh anggota tubuh, menyiapkan wajah, tangan, rambut, telinga,
kaki, dan segala indera untuk turut sembahyang dan memiliki kesadaran mengabdi
kepada Allah.
Kemudian seluruh anggota
badan dan jiwa itu berjamaah memasuki shalat: Allahu Akbar yang ia ucapkan
adalah ungkapan ketakjuban terhadap Allah beserta semua ide-Nya. Ketakjuban
tanpa histeria. Ketakjuban yang “dingin”, yang membawanya berikrar bahwa segala
shalat, hidup, dan mati ini hanya untuk Dia yang ia cintai kepati-pati.
Kemudian setiap tahap dari
shalat adalah Allahu Akbar demi Allahu Akbar, ketakjuban demi ketakjuban, yang
didahului oleh penghayatan, evaluasi, introspeksi, pensucian diri.
Puncak pencucian diri itu
adalah Ramadan. Puncak ketakjuban itu adalah Allahu Akbar Hari Raya. Maka,
suara para imam itu gemetar.
Kita menjadi “demam
panggung” di hadapan Allah yang Maha kita kagumi. Kita salah tingkah, sehingga
untuk mengatasinya kita melonjak-lonjak, bermabuk gembira, dan mungkin
berfoya-foya. Karena itu, Idul Fitri menjadi bersifat kultural. Kita
menyebutnya Hari Raya, bahasa Arabnya Yaumul Haflah, hari pesta.
Tapi what’s wrong?
Itu adalah bagian dari fitrah manusia. Bukankah sebandit-banditnya kita, rohani
kita tetap tergetar? Tetap masyuk dalam keagungan Allahu Akbar?
Bahkan “dualisme” itu pun
tetap menakjubkan. Allahu Akbar, wahai, Allahu Akbar!
Tiap hari kita begitu
sibuk dan “lari” dari-Nya. Justru karena itu kita tergetar untuk ber-‘id,
untuk pulang kembali ke fitri. Apalagi fitrah manusia itu ialah tidak
ada. Hanyalah Allah, Si Akbar, yang ada.
28 Mei 1988
Oleh : Emha Ainun Nadjib