Angket



KALAU dari sebuah kota yang dihuni oleh tiga juta lelaki di ambil tiga ratus suami dan ditanyakan kepada mereka apakah di samping ”bersantap di meja makan rumah” mereka juga ”jajan di luar rumah”, lantas dua ratus dia antera mereka menjawab ”ya”  ̶ ̶ ̶  sungguh tak bisa kita tuturkan kesimpulan bahwa “2 dari 3 lelaki di kota itu suka menyeleweng”.
             Ada empat sebab. Pertama, seratus suami yang menjawab ”tidak jajan”  ̶ ̶ ̶  karena factor psikologis atau kenakalan untuk  menyelewengkan data  ̶ ̶ ̶  sesungguhnya berkata ”ya”. Jadi, kesimpulan penelitian itu punya kemungkinan untu kberbunyi ”3 dari 3 suami…”
             Sebab kedua menyimpan kemungkinan fakta sebaliknya: banyak suami yang mersa tidak laki-laki kalau mengaku tidak pernah menyeleweng , padahal ia pengikut PSTI (Persatuan Suami Takut Istri) yang patuh. Kalau toh ingin ”mengetik diluar” (karena ”pita” mesin ketik di rumah sedang merah), mungkin minta petunjuk dulu dari istri. Jadi, fakta yang sesunggunya boleh jadi “hanya 1 dari 3 suami…”
             Yang ketiga adalah tiga ratus suami ”sebelah mana” ayng diambiil untuk sampel penelitian. Silahkan mengambil jalan yang paling ilmiah dengan cara mengkategorikan, penjelasan, atau pengolongan social macam apa pun, namun ada ratus angel dalam lingkar suatu komunitas yang masing-masing memiliki gambar fakta yang berbeda-beda. Bisa kita hasilkan ”0,00073 dari suami….” atau ”2,999 dari 3 suami….” Dan masing-masing itu bersifat relative serta tidak dekat dengan titik obyektivitas. Kalau untuk industry media massa kita keliru mengambil 300 responden ternyata suci mulia semua, kan celaka nasib komuditi kita.
             Kemudian sebab yang keempat adalah pretensi penelitian itu sendiri yang sebenarnya bisa bagus dan luhur, tapi terperosok menjadi bombastis dan curang ketika secara keseluruhan sesungguhnya tidak di berangkatkan dari kemauan moral yang sungguh-sungguh untu kmenciptakan antitesa terhadap gejala imoralitas yang di praasumsikan oleh rancangan penelitian itu.
             Pada saat itulah rekayasa penelitian dituntut oleh dunia keilmuan sendiri, dalam hal kredibilitas metodologi. Dan ketika dunia ilmiah memperbolehkan dirinya diredusir demi perakitan perdagangan berita dan isyu, kebudayaan pun menagihnya untuk bersikap rendah hati. Konvensi dan metode keilmuan pun bisa jadi sangat ringkih untuk sanggup memotret realitas secara obyektif. Bahkan ilmu pengetahuan yang paling modern pun bisa tergelincir untuk bermamta dajjal, bermata hanya sebelah, nyinyir, dan tidak adil terhadap kenyataan hidup.
             Juga ketika sebuah angket tahu-tahu menghasilkan semacam kesimpulan betapa Rasulullah Muhammad SAW hanyalah tokoh nomor 11 yang dikagumi oleh  ̶ ̶ ̶  seolah-olah  ̶ ̶ ̶  penduduk negri yang mayoritas memeluk islam.
             Mari kita masuk pasar dan bertanya kepada setiap orang yang perpapasan dengan kita, ”Siapa yang Anda kagumi?”
             Itu tergantung mood sesorang ketika itu. Tergantung konsentrasi perasaan dan alam pikiran apa yang berlangsung saat orang itu berada . tergantung perspektif ruang dan waktu. Kita mungkin akan memperoleh jawaban, ”Bung Kamto, penjual jarit (kain) di pojok sana”, ”Karto Sampah!”, atau ”Siapa lagi! Ya, si Ayu Sarijem itu”
             Manusia hidup dari detik ke detik. Artinya, ia mungkin berlaku dari kesadaran local ke kesadaran local berikutnya. Hanya satu dua manusia yang ”kesadaran kosmopolit”-nya bisa dibawa kemana pergi. Jadi, meskipun sedang ngasak di sawah, kalau ditanya siapa yang dikagumi, maka ia akan menjawab, ”Ghandi!” atau ”Sabdo Palon”
             Sekeluar kita dari pasar, tidak bisa kita pasang pengumuman didepan gerbang bahwa ”Ayu Sarijem orang yang paling dikagumi oleh penduduk pasar”. kecuali kita sengaja menjadi pembawa warta yang eksploitatif mempolitisir potret rabun atas apa yang kita klaim sebagai realitas.
             Ada baiknya  ̶ ̶ ̶  bagi orang banyak dan diri sendiri  ̶ ̶ ̶  untuk tidak usah jadi wartawan yang adigang adigung adiguna, meskipun dengan metode yang halus sekalipundan berlindung di balik topeng ilmiah. Kalau manusia berkembang membesar, ia cenderung menjadi Buta Cakil: ini raksasa yang selalu menari-nari bombastis dan kelak ususnya mbrodol oleh krisis yang disandangnya sendiri.
             Jika hasil dari ”penelitian” di pasar itu Muhammad SAW terletak pada nomor 12, bagaimana? Nabi Khidir, Sulaiman, Ibrahim, Isa, serta beribu-ribu tokoh kehidupan lain yang amat pantas di kagumi juga ketelingsut. Orang bukannya tidak mengagumi mereka. Orang tak selalu genius untuk selalu hidup dalam kesadaran seluruh ruang dan seluruh waktu dan menemukan yang paling inti dari seluruh koordinatnya. Dan begitu umat Islam menujukan rasa berang terhadap hal itu, langsung gugurlah hasil penelitian tersebut.
             Untunglah, Muhammad lahir ke dunia tidak untuk di kagumi. Ia bukan terminal pemberhentian. Ia adalah jalan, ia adalah cahaya di jalan itu menuju Allah. Muhammad tidak bersedia di gambar atau di patungkan. Dengan kata lain, ia tidak mau di idolakan. Tuhanlah idola segala idola  ̶ ̶ ̶  jika kita sepakat memakai ungkapan itu. Substansi dan manajemen 99 sifat-Nya kita tiru. Kita tidak punya kapasitas untuk mengenali-Nya, oleh karena itu cukup kita ”raba” lewat parallel-paralel-Nya: yakni struktur wujud alam semesta, struktur wujud kitab suci, serta wujud kemanusiaan ini sendiri.
             Sekedar untuk termonologi temporer, bolehlah kita pakai istilah idola. Kita menempuh perjalanan panjang menuju Allah. Yang kita jumpai adalah terminal demi terminal yang dituju oleh bayangan hakikat-Nya: maka kita mengidolakan pemusik rock, penyair, ilmuan, pemimpin negara, atau kiai. Mereka semua memang bertaraf idola alias patung atawa berhala. Dan kalau proses pencarian kita terhenti pada berhala-berhala itu, oleh budaya kita disebut statis, oleh ilmu pengetahuan kita disebut tidak kreatif, dan oleh agama kita disebut musyrik.
             Saying sekali anak-anak muda pertokoan makin tidak memliki konsepsi dalam mengagumi seseorang. Kalau di dusun atau pesantren, jika mereka mereka bersedia mencium tangan seseorang, bisa dipastikan orang itu terpercaya kesalehannya, kepandaiannya, dan kejujuran hidupnya. Tapi anak-anak kota mengagumi lambing-lambang hedonism, hura-hura, kosmetik wadak, serta gebyar yang serba fisik, untuk meraka angkat sebagai tokoh yang keropos sesudah satu dua tahun.
             Akan tetapi, di atas semua itu, umat islam sebaiknya mengantisipasi kasus ”Muhammad nomor 11” ini sebagai ”kritik tak sengaja”: betapa introduksi dan sosialisasi kepribadian Muhammad saw belum cukup efektif dan tajam, juga di kalangan umat muslimin sendiri.

Yogyakarta, 27 Oktober 1990
Oleh : Emha Ainun Nadjib