TERLALU asyik ber-gugur gunung bersama penduduk memperbaiki
jembatan, Kiai Muhammad, tampaknya, lupa untuk segera bersalat lohor. Ketika
sadar, bergegas ia pergi ke mesjid. Asar sudah menjelang. Ia sudah pergi ke
sumur. Ketika tengah memegang tali timba, tampak olehnya seeekor semut
terkatung-katung di permukaan air.
Kiai Muhammad menahan tangannya. Amat perlahan ia mencoba menggeser
letak timba agar mendekati semut. Ia melakukannya dengan hati-hati, sebab ia
akan dihinggapi oleh rasa dosa kalau karena kegagalannya menolong, sang semut
akan lenyap di sumur.
Alhamdulillah ia berhasil. Semut itu telah berada di air dalam
timba. Tetapi begitu Kiai Muhammad hendak menggerakkan tangannya untuk
menaikkan timba, terdengar suara azan dari corong mesjid.
Kiai Muhammad
menarik napas panjang. Lebih besar manakah dosa tak salat lohor dibanding
dengan "jasa" menyelamatkan seekor semut? Kiai Muhammad menaikkan
timba. Dan sesudah meletakkan kembali tubuh semut di tanah, ia berwudu dan
berangkat salat. "Allah, hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan waktu
lohor yang Kau anugerahkan," ia berkata dalam doanya. "Adapun
mengenai semut itu, serta segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan,
rasanya belum pantas untuk kujadikan alasan memohon pahala dari-Mu..."
Pada malam hari, Kiai Muhammad menceritakan peristiwa itu kepada
para santrinya. "Jangan menjadi cengeng atau sombong oleh cerita remeh
ini," katanya. "Jangan pernah menganggap bahwa aku telah sedemikian
berjasa terhadap kehidupan semut itu sehingga Tuhan itu digampangkan dengan
menganggap bahwa Ia pasti mengampuni kelalaian lohorku, meski jelas bahwa Tuhan
tidaklah cerewet."
Pada lain waktu,
Kiai Muhammad mengemukakan, peristiwa saat ia menolong semut itu adalah pertemuan
rahasia antara nasib manusia dengan keagungan Allah yang tak terduga. Itu
adalah momentum eksistensial manusia di hadapan Khaliknya. Itu adalah titik
persilangan antara jalan syariat dan lorong hakikat. Semacam perbenturan yang
mengasyikkan antara tata krama keagamaan dan inti konsep perniagaan dengan
Allah dan di dalam Allah.
Mengapa pertemuan rahasia? Karena setiap saat Allah hadir menjenguk
kita dan aktif mengelola urusan-urusan tertentu dari nasib kita, sejauh tidak
melanggar batas kemerdekaan yang sudah Ia jatahkan bagi manusia. Kehadiran
Allah dalam ruang dan waktu hanya bisa dirasakan dan dimengerti oleh manusia
yang rajin mempelajari metode-Nya, pola komunikasi-Nya, idiom-idiom-Nya: Allah
memiliki dan menjalankan tradisi-Nya sendiri. Sunnatullah namanya.
Tetapi Allah tidak mempunyai kebutuhan, laba atau rugi atas
bersedia atau tidaknya manusia mengenali kemesraan cinta-Nya. Bahkan jika
manusia menyelewengkan waktu dan ruang kemerdekaan yang Ia berikan. Ia tetap
pada ada-Nya, tak menangis dan tak tertawa. Allah tidak berduka oleh fasisme
politik, tidak terluka hati-Nya oleh dehumanisasi, dan tidak stressed oleh
sikap abai peradaban manusia kepada-Nya.
Oleh karena itu, Allah bukanlah the oppressed yang perlu dibela.
Kalau Kiai Muhammad tidak sembahyang lohor, kita tidak berhak memarahi atau
membencinya--dengan landasan bahwa kita sedang membela hukum Allah. Kiai
Muhammad sudah cukup tua untuk sanggup mengkalkulasi timbangan perniagaan
pribadinya dengan Allah dan Allah sendiri sudah menyediakan lembaga peradilan
atas dosa pahala manusia, sehingga tidak perlu diambil alih oleh peradilan
budaya keagamaan manusia.
Terkadang ada baiknya mengurangi penggunaan tenaga menjadi satpam
fiqih dengan menggunakannya untuk meriset apakah seekor semut pada suatu hari
mewakili kehadiran Allah di hadapan kita. Kalau kesadaran rohani Kiai Muhammad
baru sampai pada taraf ana insan atau "aku manusia", maka semut itu
tidak akan tampak oleh mata perhatiannya karena terlalu disibukkan oleh ego eksistensinya
sebagai seseorang.
Kalau dia berada pada tahap ana 'abdullah atau "aku hamba
Allah", nasib semut itu akan dilewatinya saja karena ia membela jumlah
kepatuhannya kepada Allah. Tetapi karena Kiai Muhammad telah memakai alas kaki
khalifatullah, ia bersikap demokratis pada seluruh anggota alam, seluruh hamba
Allah: sesama manusia, tanah, hasil tambang, kayu Kalimantan, gunung-gunung,
cengkih, minyak bumi, dan seekor semut.
Seorang khalifatullah menerjemahkan komitmen sosial di dalam
perspektif kosmis, tak sekadar terbatas pada dunia kehidupan manusia, dengan
bagian-bagian alam yang lain hanyalah instrumen bagi kesejahteraannya. Sebuah
generasi yang mewariskan malapetaka sosial ekonomi dan bencana ekologi kepada
anak cucunya adalah generasi rohani kelas tiga yang mabuk di atas singgasana
"aku manisai" –suatu kesadaran sekular.
Jike generasi macam itu menggenggam agama, maka yang terjadi adalah
seperti yang dipuisikan oleh Sunan PAnggung sekian abad yang lalu: Orang yang
tak mengetuk pintu rahasia / Hanyalah terbelenggu oleh tata krama / Sembahyang
sunnah dan fardu tak pernah tertinggal / Untuk menutupi kelalaiannya terhadap
tetangganya yang lapar / ... Sepedati penuh kertasnya / Yang dibicarakan hanya
masalah halal haram ... Orang-orang beriman kini makin diuji untuk menentukan
apakah mereka lebih memilih "menghimpun pahala pribadi" ataukah
"menyumbangkan diri bagi proses-proses sosial". Hal yang kedua itu
bisa merisikokan berkurangnya peluang yang pertama. Kalau sewaktu berangkat ke
mesjid untuk salat Jumat tiba-tiba Anda jumpai di jalan seseorang tertabrak
motor--padahal suara iqamah sudah terdengar dari corong mesjid--apa yang akan
Anda lakukan?
Momentum dan konteks seperti itu terjumpai di berbagai bidang
kehidupan. Dan di dalam skala yang besar, Rabiah al Adawiyah memilih sikap ini:
"Ya Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka, sehingga
tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hamba-Mu..."
Metode duniawi untuk menghindarkan orang-orang dari api neraka ialah dengan menggabungkan diri ke dalam usaha-usaha penyelenggaraan tata sosial ekonomi, tata politik, hukum, dan kebudayaan, yang membuat orang tak "terpaksa" mencuri, tidak "terkondisi" untuk korupsi, menindas, berzina, membunuh, menuduh komunis, menyelenggarakan judi kedermawanan, dan memelihara gundik. Usaha kekhalifahan semacam itu sama sekali tidak menjadi sia-sia meski sejarah tidak pernah mencatat bahwa hal itu berhasil terwujud.
Metode duniawi untuk menghindarkan orang-orang dari api neraka ialah dengan menggabungkan diri ke dalam usaha-usaha penyelenggaraan tata sosial ekonomi, tata politik, hukum, dan kebudayaan, yang membuat orang tak "terpaksa" mencuri, tidak "terkondisi" untuk korupsi, menindas, berzina, membunuh, menuduh komunis, menyelenggarakan judi kedermawanan, dan memelihara gundik. Usaha kekhalifahan semacam itu sama sekali tidak menjadi sia-sia meski sejarah tidak pernah mencatat bahwa hal itu berhasil terwujud.
Kalau seorang direktur perusahaan tahu bahwa lima juta rupiah
gajinya setiap bulan tidak seluruhnya merupakan hak miliknya, sehingga sebagian
gaji itu diserahkan kepada kaum miskin yang menghakinya, pasti itu bukan
jaminan bahwa kemiskinan akan lenyap dari muka bumi. Tetapi ia dengan demikian
telah menjalankan kerangka duniawi-ukhrawi perniagaan dengan dan di dalam Allah.
Ia telah lebih dari tingkat insan dan abdullah: ia Khalifatullah.
Yogya, 18 Februari 1989
Oleh : Emha Ainun Nadjib