Cemaslah hati rhoma irama saat itu, kalau ia sedang asyik-asyik
mencipta lagu dengan gitarnya, ia lupa dengan segala sesuatu. “kenapa hal itu
bisa terjadi, kiai? Aku takut berdosa karena dengan begitu aku tak lagi ber
dzikir kepada-Nya.” Begitu ia meratap kepada salah seorang gurunya.
Sang guru mengucap
syukur, dan tersenyum, “Itulah taqwa. Tapi ketakutanmu itu keliru . tapi
ketahuilah, tanganmu yang memetik gitar itu berzikir. Juga sepontanitas lagu
dari mulutmu itu. Suara yang terdengar itu kehendak-Nya.” Kaum sufi akan
berkata, Allah-lah yang bermain gitar.
Rhoma menjadi
tenang, memperoleh kemantapan baru.
Barangkali tak
cukup banyak orang tahu kesungguhan Wak Haji Superstar Ndangdut itu dalam
memproses diri “untuk Allah, dengan Allah, ke Allah”. Lelaki lembut yang
teramat fasih ucapan Arabnya, yang rendah hati, yang selalu menolak pujian, dan
begitu sensitife untuk mengembalikan segala sesuatu kepada-Nya. Industriawan music
yang sedemikian takut dijebak oleh semu keduniawian, pemimpin organisasi yang
ketat bersyariat, muslim fanatik yang yang dianugrahi kekayaan hamper komlet
dan keistimewaan-keistimewaan.
Begitu sadar ia
akan rizki Allah, sehingga komitmennya terhadap-Nya terasa amat mewah. Ia bagai
menempuh proses me-roh, memalaikat, hingga sering kehilangan jejak bahasa
kemanusiaan. Begitu dalam ia memasuki dirinya sendiri, meneju Allah yang ia
lacak, hingga sukar sekali dari ruang itu bocor zat manusianya.
Ketika berpuluh
ribu manusia berjejel mengelu-elukannya, sesungguhnya yang tampak di mata batin
massa bukanlah manusia Rhoma. Melainkan bayangan mimpi amat panjang rohani
mereka: idola, pahlawan, ratu adli, kekasih pemenuh rindu yang tek menentu.
Getaran impian itu mengapungnya, lebih dari sekedar selera terhadap suatu
dinamik music.
Menjadi “hukum
alam” juga, massa selalu tak member peluang bagi superstar untuk bertelanjang
sebagai manusia. Untuk itu, Rhoma telah memelih maha pelindung yang tepat.
Tertapi ia “mendekapnya” secara terlalu melankolik. Padahal, Allah bukan suatu
kemewahan, bukan suatu elite, apalagi uang. Allah mahaada dan Maha Memenuhi,
dimana saja dan kapan saja.
Kemewahan itulah
yang barangkali letak jawaban, ketika kita kita menyaksikan ironi sukses Rhoma.
Misalnya, dewasa ini mewabah “budaya gengsot dangdut” yang diberbagai tempat
tampak.
Makin karib
seorang dengan Allah, makin besar godaan. Ratusan ribu penonton Rhoma di
Surabaya dikomentari oleh Yatti Octavia yang ikut pentas: “Saya kira itu sukses.
Penontonnya seratus ribu lebih, bahkan ada yang mati.” So, makin banyak yang
mati, makin sukses. Demikianlah tipisnya beda gelap dengan cahaya, dan
demikianlah ironi dua sisi koin sukses. Bagaimanakah cara memahami peranan
Allah di dalam Rhoma?
Jelas, penyembahan
Allah bukan kreativitas. Rhoma berkewajiban tidak hanya bermesraan-kemewahan
dengan-Nya, tapi juga berurusan dengan lalu lalang manusia dalam kebudayaan.
Apalagi kita yakin bahwa Rhoma manusia.bukan fadhilah bagi seorang yang roh-nya
bagai anak panah meluncur ke atas sementara tak bersih ia dari warisan sial
budaya manusia Rhoma, sedemikan rupa, sehingga Rhoma layak menambah daftar
skedulnya.
Di samping
bersibuk industry musik dan taqorrub personal, sekali ia harus mencuri
waktu untuk turun panggung. Tidak sebagai superstar. Untuk melihat, dan ikut
mengalami, dengan apa saja perilaku manusia itu berurusan dan berakibat. Dengan
begitu, ia bukan saja akan lebih sempat ketemu dengan “diri manusia”-nya
sendiri. Tapi juga dengan “mata tombak” yang lebih efektif bagi kariernya.
Bahkan Muhammad
tak bermewah-mewah dengan pencapaian di ketinggian keilahian. Ia memilih mati
biasa dari pada hidup sampai akhir dunia mati hilang raga. Karena itu, Muhammad
mengkritik seorang kiai yang menunda-nunda saat matinya. Dengan pengolahan dan
keikhlasan tertentu, sang kiai dikehendaki Allah tak mati oleh sebuah ayat yang
dibacanya. Tapi suatu malam Muhammad muncul dalam mimpi: “kenapa engkau tak
ingin segera bertemu aku, Kiai?” Paginya tak lagi ia baca ayat itu. Allah
mengambil nyawanya.
Mati bisa
merupakan sukses. Namun, bagi Rhoma, yang pentiing bukan soal mati itu.
Oleh : Emha Ainun Nadjib