TANYA jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana
anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu mendadak meningkatkan
nada suaranya.
”Saya sangat
kecewa mengapa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak
kepada orang-orang yang dating ke kuburan untuk meminta angka-angka buntutan! ”
ia menuding-nuding , ”Itu jelas syirik, saya sebagai warga organisasi Islam
yang sejak kelahirannya yang sejak kelahirannya bermaksud memberantas segala
tahayul, bidah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala
semacam itu dalam masyarakat kita sampai titik darah penghabisan!”
Bapak ustadz
terkesima.
Isi pemikiran
pemuda itu tidak aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun ”semangat
juang”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajaknya Chairul Anwar ”Aku” atau
”Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltage suaranya meningkat? Tapi
marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat
perjuangan dari generasi satu ke generasi yang lain. Proporsi di mana dan untuk
soal macam apa semangat itu mesti di terapkan, adalah soal kedua.
”Adik manis,
maafkan saya kalau memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut, ”Tapi
saya berharap aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga tidak bermaksud
menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk tidak terlalu dingin terhadap
gejala-gejala. Tetapi, nyuuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak
pada tempatnya. Pernyataan Anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es
dawet…”
Para jamaah
tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.
”Syirik ya
syirik, tapi orang masuk kuburankan macam-macam maunya. Ada yang mau cari
tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi
karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta
barang-barang seperti yang diminta tetangganya. Terus terang saya juga sering
masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat
jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan mala mini, jenuh di undang
kesana-kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas, jenuh meladeni
pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad-20 dari ’apa hukum merangkul
rambut’ sampai ’memandang wanita itu zina apa tidak’, atau jenuh dengan
pemikiran-pemikiran puber akrobat pikiran intelektualnya over-dosis. Kejenuhan
itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengizinkan kita untuk
merasa jenuh pada saat-saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan.
Apakah buang-jenuh di kuburan syirik?”
”Bukan itu maksud
saya!” teriak sang pemuda ”saya berbicara tentang orang yang minta-minta di
kuburan.”
”Baiklah,” lanjut
pak ustadz. ”Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau
kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu
memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia
memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya saya juga prihatin
menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin….”
”Apa maksud
Bapak?” sang pemuda memotong.
”Bikinlah
proposal untuk meminta biaya siapa saja yangsebenarnya suka mendatangi kuburan,
terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para
pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah
pada umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan?
Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% peanggan kuburan adalah orang-orang
kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti Anda ini saya perhitungkan tidak
memerlukan kuburan karena wesel dari orang-tua cukup lancer. Di samping itu
syukurlah posisi social Anda. Anda termasuk dia antara sedikit anak-anak rakyat
yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan
tinggi. Karena Anda bersekolah sampai perguruan tinggi sehingga anda menjadi pandai
dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi
pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier
melawan para tamatan sekolah menengah, para DO atau apalagi para non-sekolah.
Kalaupn menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan
ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Begenjil,
melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepentingan ekonomi dan
kemapanan kekuasaan politik….”
Seperti ari bah
kata-kata bapak ustadz kita meluncur.
”kalaupun anda
ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokrasi kekuasaan atau tempat-tempat lain
yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemampuan itu, anda masih
mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat.
Langkah pertama gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan
terhadap dana luar negri di mana anda bisa numpang makan, minum, mrokok, dan
membeli jeans baru. Langkah kedua, meningkatkan kreativitas proposal
agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga,
menyusun kecanggihal lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh
bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan
deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian
sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat anda. Kemiskinan
adalah export non-migas yang subur bagi kelompok priyai pembebas rakyat di mana
anda bisa bergabung…”
Bapak ustadz kita
sudah tak terbendung lagi.
”dengan demikian
anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu
tidak bisa di lakukan oleh orang-orang miskin yang hendak anda berantas
syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Pak Camat dan
Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu
kuburan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa pada orang
kecil yangmelarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”
Suasana pengajian
menjadi semakin senyap.
”Bapak ini
ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.
”Kepada siapa dan
apa sajakah Allah cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang dituhankan
orang di negeri anda ini? Apa yang di dambakan orang melebihi Tuhan? Apa yang di
kejar diburu melebihi Tuhan? Apa yang di takuti orang melebihi Tuhan? Apa yang
sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan
melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong oran gtunduk, patuh dan loyal
sepenuh hidupnya kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang,
memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan Tuhan? Lihatlah itu,
pikirkan dan terjemahkan melalui pikiran kebudayaan Anda, pikiran social Anda,
pikiran politik Anda, pikiran ekonomi Anda, perhitungan structural Anda…”
Suara bapak
ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.
”Berankah anda
berangkat membrantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekusaan, senjata,
dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk
mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah” Sanggupkah Anda
mengalahkan obesis kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan
yang sedikit punya harga diri?”
Napas mulai agak
tersengal-sengal.
”Anda begitu
bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bukankah Anda tampak bermaksud
menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah terakhir. Tetapi
Anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh
badai api sehingga menyingkir kekuburan sepi. Itu karena mata pengetahuan Anda
tak pernah dicuci kecuali oleh para ulama-ulama yang memonopoli kompetisi
pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencici mata umatnya,
kecuali persoalan yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu
wajib, sunat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu di terapkankan pada hal-hal
yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah solat lohor apa belum,
orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pake jilbab atau belum, mengapa
Cut Nyak Dien mengelus-elus paha Teuku Umar padahal itu film citra Islam. Anda
tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan
yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik
perekonomian dari tikar plastik yang tiap hari Anda pakai sembayang. Anda marah
pada Cristine hakim tidak pakai jiblab padahal ia muslimah, tetapi anda tuli
terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan
depolitisasi, terhadap proses pemiskinan, terhadap ketidakadilan social yang
luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam
perhitungan makro structural. Anda hanya sibuk mengurusi sunah-sunah dan tidak
acuh terhadap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya… ”
”Pak! Mengapa
jadi sejauh itu….?” Sahut sang pemuda.
”Dengar dulu,
anak muda!” tegang wajah sang bapak. ”Itu yang menyebabkan Anda tidak memiliki
perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakikat kasus syirik yang
sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat sesorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa
mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konteks-konteks,
pencuri itu bisa halal sifatnya….”
”Apa-apaan ini,
Pak?” sang pemuda menyelonong lagi.
”Kita ini
dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang,
subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita bercermin dan menjumpai wajah
kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan
halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya untu knaik haji, naiklah
kita ke puncak Gunung Bawakaraeng dan mereka telah naik haji. Kalau tak sanggup
perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak
ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyun ke
panggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy,atau
mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati terhibur. Kalau
risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tan sanggup bersandar pada udara,
maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang muallaf
dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam
tempurung. Naluri kekuasan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi
”negara” dalam pesta syairiat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi
muda-mudi yang berboncengan motor, kita menepon pasien-pasien kita di pagi buta
untuk mengecek apakah dia sudah salat subuh, kita sembahyang jamaah sambil
melirik apakah orang di samping kita sudah cukup khusuk sembahyangnya. Kita
menjadi puritan, menjadi ”manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasan baru di
mana kita adalah penguasanya… ”
Sang pemuda tak
bisa tahan lagi, ”Maf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”
Tapi air bah terus tumpah ke bumi.Oleh : Emha Ainun Nadjib