Melodi Perjalanan



SAYA undang orang yang sama sekali tidak terkenal itu untuk tampil pada acara ”Bintang dan Kiai baca puisi”, meskipun jelas ia bukan bintang film dan tak pernah pula diberi label kiai oleh siapapun.
             Acara di kampus UGM luar biasa meriah. Suara gelak tawa dan tepuk tangan 6.000 penonton lebih memenuhi tiga jam acara. Tapi jago saya ini, kalau dihitung berdasarkan ilmu  pentas, paling jelek penampilannya. Duduk bersila, dengan gerak-gerik seperti sedang berada di biliknya, serta dengan sorot mata yang tidak mencerminkan bahwa ia sedang dihadapi oleh ribuan penonton. Ia membaca puisi dengan suara pelan, datar, tanpa dramatik, tanpa greget.
             Saya jadi gregetan. Ia sama sekali tidak berubah baik ketika orang diam mendengarkan, orang rebut sendiri, atau bahkan ketika orang meneriakinya. Sesudah pementasan ia juga tidak tampak bergembira oleh apa pun atau menyesali apa pun.
             Jelas ia tak punya konsep sama sekali tentang hakikat pementasan kesenian, tak punya wawasan tentang peristiwa komunikasi sosisal, serta tidak memiliki imajinasi terhadap citra cirinya sendiri di depan orang banyak. Sudah pasti Putu Wijaya perlu mengajarinya tentang vitalitas, Rendra perlu menasehatinya tentang gelobang dialektika dengan rasa dan pikiran penonton, sementara Arifin C. Noer perlu memberikan kepadanya soal hukum-hukum estetika.
             Baru beberapa hari kemudian pikiran saya agak tergeser. Saya ingat ketika putra orang itu meninggal dunia, ia sama sekali tidak bersedih, bahkan tak ada seserpih perubahan pun di air mukanya. Ia mengendong bungkusan jenazah anaknya kekuburan: ”Tuhan, maafkan aku dan keluargaku yang Kau nilai tidak mampu membawa anak ini kepada-Mu, hingga engkau sendiri langsung turun tangan mengambilnya…”  ̶ ̶ ̶  lantas dikuburkan, dan ia tersenyum.
             Sekarang saya berfikir kalau Gunung Merapi meledak, pasti air mukanya tidak berganti ekspresi. Dan kalau Pulau Jawa terbelah menjadi lima, ia tidak akan mengernyitkan dahi. Ia tetap ia. Hatinya tidak pernah cedera. Jiwanya tak reatak. Rupanya itu yang dinamakan Istiqomah. Tegak sembahyang, dihadapannya hanya Allah. Dunia dan kehidupan ini sekedar formalitas birokrasi sejenak, atau semacam upacara kecil menjelang masuk kantor, meskipun ia tahu bahwa segala aturan upacara itu harus dilaksanakan secara adil dan penuh disiplin, serta fasilitas-fasilitasnya harus disediakan secara seksama.
             Terus terang saya cukup berjasa kepada orang itu dalam soal bikin puisi sehingga ia sanggup tampil malam itu. Di rumah, ketika ngobrol dengan kawan-kawan, saya tak tahan mendengarkan. Tak mampu saya menelan mutiara-mutiara dalam bentuk puisi. Tergesa dan serabutan, tapi Alhamdulillah ada goresan puisi yang saya tuliskan. Saya sodorkan kepadanya, ”ini puisi Anda,” kata saya.
             Maka sesudah tengah malam, ketika teman-teman bubar, untuk pertama kalinya dimuka bumi ia menuliskan sendiri puisi-puisi. Hasilnya, gila! Saya harus menggunakan hak saya untuk mengagumi ”penyair pemula” ini, meskipun dalam kosmos tasawuf, dan kekaguman itu tergolong mental primordial.
            
aku musafir
pencari ’ya’
berbekal ’tidak’
di lembah dusta

’di sini’ persinggahanku
’kini’ meja makananku
bertenda cinta
berlantai duka

kerjaku memungut sisa
dari jalan manusia
semua yang dia buang
bagiku tersayang

diam tak bergeming istriku
baik dan buruk sahabatku
teknisku salah benar
hobiki kebohongan


mari berjalan
tak usah bergandeng tangan
yang masih saying dirinya selamat tinggal

             puisi berjudul ”Melodi Perjalananku” ini adalah karya pertama seorang makelar jual beli keris. Seorang dukun-tak-sengaja yang diminta orang menyembuhkan kanker, gia, santet, atau sakit apa saja. Seseorang yang didaulat banyak untuk memberi pengajian-pengajian. Seorang suami yang yakin Allah melarangnya untu kpernah punya niat mencari uang, uang tak datang, tapi kalau ia kerjakan apa saja yang ia rasa wajib ia kerjakan dengan niat kerja itu sendiri, maka jadilah uang. Seseorang yang tiba-tiba jadi menyair….
            Jadi bagaimana dan dimana sih sebenarnya wilayah proses kreatif kepenairan? Di negri ini terdapat banyak penyair, dan orang ini tidak tergolong didalamnya. Bisa dimaklumi, karena yang ia tulis bukan puisi, melainkan keadaan hidup. Menulis puisi amatlah sukarnya, tetapi mengarungi rohani kehidupan dengan mata kejernihan seperti yang sanggup dilakukan oleh orang itu, jauh lebih amat sukar.

Oleh : Emha Ainin Nadjib