Empat Kapasitas



PAK GURU Danar dan Pak Guru Amrul membincangkan uang, kemiskinan, dan manusia. Orang menyebut mereka ini sufi, namun jarak kedudukan antara keduanya seperti menunjukan bahwa kam sufi bertempat tinggal hanya di sebuah rumah tasawuf.
            Pak Guru Danar pernah naik bis, menyaksikan langsung pencopet itu melenyapkan uang dari dompet seorang ibu. Ketika kondektur minta ongkos, ibu itu baru sadar bahwa uangnya telah raib dari dompetnya lalu menagis. Pak Guru Danar juga ikut menagis sambil berfikir membagi sisa uangnya −̶  dua puluh ribu rupiah −̶− kepada ibu tadi. Tapi tak ia lakukan, sampai kemudian ibu dengan putrinya harus turun dari bis dan Pak Guru Danar terperangah merasa gagal menempuh ujian.
            Jadi, ujian dari Allah ialah mata pelajaran uang. Kini Pak Guru Danar amat kasih kepada pengemis, tidak peduli pengemis asli atau pengemis professional, , meski keduanya sama-sama engemis structural. Yang penting bahwa uang itu adalah kertas ujian, meskipun tidak berarti bahwa dunia membutuhkan sebanyak mungkin pengemis dan orang miskin, agar makin banyak pula jumlah kaum sufi yang menjadi matang sesudah mempetualangi ujian.
            Bagi Pak guru Amirul ujian itu tidak ada. Yang ada amr, perintah Allah. Kalau kau menjumpai kayu melintang di jalan, itu adalah perintah agar kau menyingkirkannya. Kalau engkau memperoleh uang. Itu adalah amr agar engkau menyerahkan kepada siapa pun yang membutuhkannya, sesudah kau pakai tak kurang tak lebih bagi dirimu sendiri. Pak Guru Amirul tak pernah mencari uang, melainkan mengerjakan perintah, apa saja yang ia wajib ia kerjakan −̶− meskipun tak ia sukai −̶− di kapasitas ruang dan selama waktu yang menjadi jatah kodratnya. Uang merupakan salah satu akibat dari pekerjaan wajib itu, yang membawa serta amr baru. Uang dan harta tidak boleh di-kufur-kan, umpamanya diakumulasi melebihi kebutuhan manusia sejati manusia.
            Uang merupakan ujian dan amr baik sewaktu ada maupun tidak ada. Ketika tak ada, uang membayang-bayangi untuk dikejar. Ketika ada, uang menguras cinta untuk mendekapnya. Diantara keduanya terdapat senyari tanah, seons kacang, atau partai politik, atau nasib berpuluh juta manusia. Uang, ada atau tidak ada, selalu mengepung. Dan bagi yang di kepung, uang ialah segala-galanya. Pak guru danar selalu melesat dari kepungan itu, yang sebagian ia ciptakan sendiri. Pak Guru Amirul selalu mengadili uang ditangannya serta cara memperolehnya, dan ia menyakini hal itu berlaku bagi siapa saja. Karena itu baginya dunia bukanlah Pak Guru Danar yang berhadapan dengan pengemis, melainkan dengan segala sesuatu yang menciptakan pengemis dan orang miskin lainnya oleh karena itu pula, pilihan Pak Guru Danar berbeda dengan Pak Guru Amirul. Yang satu menempuh karier pribadi, lainnya tidak. Yang satu kental “diri-nya”, jelas karyanya, muncul namanya. Yang lain melarutkan dirinya menjadi banyak −̶− orang-orang miskin terkasih −̶− tanpa “nama”, berangkat dari dan bersama mereka, entah ke Tuhan, entah kemana.
            Pak Guru Danar dan Pak Guru Amirul mengerjakan hal-hal yang tampaknya mustahil. Pak Guru Danar suka mendongeng tentang isi ruang dan waktu yang diaduk, dupa kemenyan dan komputer yang dikawinkan, knenik dan supra rasionalisme −̶− untuk memaparkan kebingungan kita oleh paradox gejala-gejala abad mutakhir, sambil menyarankan agar kita santai saja. Adapun Pak Guru Amirul mengentali lingkar-lingkar anak-anak muda diberbagai tempat, mencuri ruang dan waktu kosong di tengah jala, berusaha mengempiriskan segala pikiran luhur yang sudah capek diomong-omongkan; sementara tidak penting ‘siapa saja’.
            Pak Guru Danar menyebarkan semacam ilmu kebal terhadap segala derita dan ketidakmenentuan; hal yang ternyata sudah dimiliki secara canggih sudah dimiliki oleh jutaan orang miskin. Sementara Pak Amirul sudah menemukan maqam-nya −̶  kedudukannya sendiri sudah pada tataran empat kapasitas manusia yang ia rumuskan sendiri. Pertama, kapasitas tenggelam; ini jatah mayoritas. Kedua, kapasitas perumus jatah “kaum intelektual” yang begitu cekatan menggambarkan tulang belulang keadaan. Ketiga, kapasitas kebal; yang tidak tenggelam, bisa merumuskan, namun sekedar mampu bertahan. Dan keempat, kapasitas pengubah; antisipatif, bahkan melawan, tidak hanya sekedar untuk dirinya sendiri.
            Perbincangan kedua pak guru itu semakin melebur tinggi, tidak selesai, abadi. Dialog itu mengemukakan kepada diriku: pilihan Pak Guru Danar maupun Pak Guru Amirul itu benar, dan tak sempurna, karena, kecuali Tuhan, maka Ratu Adil, Semar, Messiah, adalah sesuatu yang hanya ada bila diusahakan oleh manusia.
            Mungkin, katanya, sebagai manusia dalam bebrapa hal engkau tenggelam, ala kadarnya bisa merumuskan, kebal sekaligus punya kegatalan untuk merubah. Mungkin engkau adalah priyai modern yang makin pintar menenggelamkan tetanggamu berkat meningkatnya kemampuanmu perumuskan. Mungkin engkau adalah pemikir yang berkecipak-kecipuk dengan merumuskan saja. Mungkin egkau sekedar satu dari setumpukan ikan yang mengelepar-gelepar dalam jala. Mungkin engkau perumus yang baik, tetapi tak kebal, hingga engkau tenggelam. Mungkin engkau pencipta cita-cita perubahan, bahkan pekerja perubahan, tapi engkau tidak kebal hingga kau menjadi lintah di tubuh nasib orang yang hendak engkau uabah. Setidaknya engkau meminum sumbangan darah yang dijatahkan infuse nasib darurat berjuta saudaramu.
            Pak Guru Danar dan Pak Guru Amirul sepakat dalam satu hal: kekebalan, misalnya, tidak meminum air yang secara struktural merupakan hak orang lain yang tidak kita kenali namanya.

Oleh : Emha Ainun Nadjib