Mencintai dan Membenci



TIDAK seorang manusia pun pernah benar-benar kehilangan cinta. Karena itu, pembunuhan yang sebenarnya tidak pernah bisa dipahami. Jika ketika orang pernah menjadi ter-jahat, ter-bandit, ter-penghianat, ter-gali, bahkan ter-binatang dan ter-setan, kita yang menikamkan pedang di dadanya mencatat suatu tingkat kebinatangan yang lebih tinggi dari sang mayat.
             Juga ketika Tuhan mengucap kun! Dan mencipta, temanya adalah drama cinta kasih, termasuk kepada siapa pun yang sampai akhir hayatnya gagal gagal berkenalan dengan-Nya. Tuhan mungkin menghukum atau memaafkannya, dan itu urusan-Nya. Tetapi kita mampu berbuat melebihi-Nya. Karena tiadanya jaminan keamanan di dalam kebersamaan, manusia terpojok untu kmeyakini hukum-hukum, kemudian juga meyakini hukuman-hukuman. Pada gilirannya ia menjadi yakin akan pembunuhan-pembunuhan. Bisa atas nama-Nya, bisa pura-pura atas nama-Nya, bisa juga untuk hal-hal yang tak terlalu berhubungan dengan-Nya. Manusia mampu membunuh saudaranya.
             Membunuhnya, mengusirnya, mencabut dari ibunya, tanahnya, raganya. Membunuhnya, bahkan berates, beribu, berjuta-juta. Untuk mengamankan kekuasaan, menertibkan keadaan, memelihara ketegangan antargolongan, mengadu domba kebangsaan-kebangsaan, menjaga harga satuan mata uang, menstabilkan penindasan  ̶ ̶ ̶  atau orang yang membunuh saudaranya karena tak dianggap saudara dan dipojokkan oleh kekuasaan dan permusuhan.
             Manusia mampu membunuh saudaranya. Dan makin mampu ketika ia makin pintar, terpelajar, berkembang dan maju, memegahkan peradabannya dengan alat pendeteksi langit, filsafat yang menukiki kebenaran, dan puisi yang mengindahkan naluri kemanusiaan, pun rumus-rumus bertinta emas yang memadatkan bumi menjadi sebutir kerikil di dubur.
             Lokomotif sejarah yang bernama politik, yang menyeret dan menentukan arah gerbong-gerbong kemanusiaan, telah ada dan akan terus menjadi begitu penting, juga untuk membunuh para penumpangnya. Asap lokomotif mampu menyebar ke dalam gerbong, merasukkan bau dan kuman yang membikin para penumpang mabuk, mengamuk, bunuh-membunuh. Perang brubuh berlangsung bisa hanya sehari dua atau sebulan dua, tapi kuman yang tertanam di sel-sel otak dan perasaan bisa tak hilang untuk seabad.
             Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak tahu secara tepat apa yang sebenarnya berlangsung di dalam sejarah, karena sejarah ialah buku roman yang bergantung pada pengarangnya, atau beberan panggung sandiwara yang ditentukan oleh sutradara. Ada kemungkinan, kebanyakan orang tidak peduli kepada itu semua. Ada kemungkinan para cerdik pandai hanya menjadi tinta sejarah, yang terserah pada pena penulisnya. Ada kemungkinan, para cendikiawan sejarah, dengan rela atau terpaksa, berperan hanya sebagai sesuatu yang disejarahkan.
             Juga ada kemungkinan, amat sedikit diantara mereka yang bisa menjawab pertanyaan Anda, umpamanya, berapa orang persisnya yang mati di negeri ini selama 1984. Syukur tahun-tahun sebelumnya, misalnya, 1965-1966. Anda barangkali juga menginginkan analisa kualitatif yang mengklasifikasikan sebab-sebab kematian, untuk menjadi bahan Anda membenarkannya, untuk bergembira atau berduka.
             Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Orang mati gampang dilupa, terutama oleh para pembunuh atau orang-orang yang mensyukuri kematiannya. Namun barangkali tidak oleh mereka yang berada dipihak kematiannya, apalagi oleh anak-anak yang di besarkan oleh kenangan kematian seseorang yang, meskipun dianggap sampah, amat dicintainya.
             Tahukah kita, demi kejujuran sejarah, berapa jumlah anak-anak demikian? Jiwa-jiwa putih yang kita muncrati darah, sehingga begitu membenci bukan saja pedang dan senapan, tapi juga tampang kita, baju kita, kalimat-kalimat kita, agama kita, Tuhan kita. Kejiwaan mereka bergerak di dasar lautan, di arus bisu timbunan sejarah, mendekap dosa-dosa kita di relung kenangannya yang kekal.
             Anak-anak kita sendiri menjadi begitu terbiasa dengan pembunuhan yang dikehendaki, kematian yang disyukuri. Mungkin melihat, mungkin mendengar. Tapi jelas, nak-anak itu meniru, dan memang kita ajari, untuk menyukai apa yang kita sukai dan membenci apa yang kita benci. Anak-anak  juga berdoa dan mengutuk, seperti doa dan serapah kita.
               Anak-anak disiapkan Tuhan untuk mencintai dan membenci apa-apa yang pantas dicintai dan dibenci. Kita yang mengajari, meluruskan, membelokkan, atau membalikkan kepantasannya. Besok pagi, ada kemungkinan, mereka kaget menilai ajaran kita. Lusa mereka berhimpun dan bergerak meluruskan kita, atau justru membelokkan, membalikkan, memasukkan kita ke bawah nisan terkutuk, persis seperti yang kita lakukan atas hari demi hari yang menyuruk ke masa silam.

25 Mei 1985
Oleh : Emha Ainun Nadjib