Slilit Sang Kiai

Tidak jelas apa bahasa indonesianya, tapi bisa disebut selilit. Kalau habis ditraktir makan sate, bisanya ada serabut kecil sisa daging nyelip diantara gigi −̶ itulah seliit. 
Selilit sama sekali tidak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tak berkaitan dengan setiap kampanye pembangunan. Koran tak pernah meng-cover-nya. Para ilmuan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan satu-satunya produksi ekonomi yang pernah urusan dengannya disebut “tusuk gigi” – bukan “tusuk selilit”. Padahal selilit-lah yang ditusuk. 
Namun, begitulah, slilit pernah memusingkan seorang kiai dia alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surge. Ceritanya, dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum para santrinya siap untuk itu. Murid-murid setia itu, sudanh mengubur sang kiai, Lantas nglembur mengaji berhari-hari −̶ agar diperkenankan bertemu roh beliau barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebenaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Roh kiai menemu mereka. 
Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib Sang Kiai di “sana”. “Baik-baik, Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri dirumah Pak Kusen? Sehabis makan barang, hadirin berebut menyalamiku, hingga aku tak sempat mengurusi slilit di gigiku. Ketika pulang, ditengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak membawa tusuk slilit maka aku mengambil putongan kayu kecil dari pagar orang. Kini alangkah sedihnya: aku tak sempat minta maaf pada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?. 
Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan, alangkah lebih malangnya nasib Sang Kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau candi Borobudur, setidaknya satelit Palapa. 
Ada satu intensitas rohani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan begitu mutlak. Tampat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana sesorang mengelolah dirinya dalam hidup. 
Meski demikian, hal itu sebenarnya naluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun, orang yang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan pohon itu merusak ekologis. Seorang Indian Wintu di California berkata pilu: 
“orang-orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah , rusa, atau beuang. Jika kami makan daging, kami tak menyiksanya. Jka kami memerlukan akar, kami membuat lubang bukan mencabutnya. Kami tak menumbanagkan pohon . kami hanya memakai kayu yang sudah mati tapi orang kulit putih membajak sawah, merobohkan pohon, membunuh segela yang dikehendaki. Pohon-pohon menangis: ‘jangan! Aku luka dan sakit!’ −̶ tapi mereka mencabutnya, memotong-motongnya. Roh tanah suci mereka! Mereka meledakan batu-batu, gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah hingga saling tak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh: ‘jangan! Aku pecah dan sedih’ −̶ tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimanaun roh batu menyayangi mereka? Apa saja yang tersentuh tangan mereka, rusaklah segala sesuatu itu…. !” 
Naruri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa kulit merah. Manusia dengan kecerdasan berhasil menaklukan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulapnya menjadi surge impian, memakannya, menghabiskannya, menguras dan mengenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubadzir, bagai direncanakan untu menyegerakan berbagai kehancuran yang ditup-tutupi. 
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tak begitu penting, juga di negri yang bangsanya tamak begitu religious. Kata ‘Tuhan’ disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksannan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat. 
Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya. 

10 September 1983