Islam Itu Islam



Rebut-ribut soal Salman Rushdie membuat saya kangen pada Kiai sudrun . langkah menarik kalau kiai sinting dari mojoagung itu saya mewawancarai.
            Ia anti norma, kurang tahu adat, tidak punya sopan santun, dan anggah-ungguh. Wajahnya sangat kacau, meski istrinya jelita. Tidak pernah memakai sandal, kalau masukmasjid tidak pernah cuci kaki dulu. Kencing disembarang tempat, untung, air kencingnya langsung sirna dari tanah dan udara.
            Ia tahu persis berapa banyak duit dikantung kita, suka menirukan apa yang kita pikirkan. Suka muncul di mana-mana bak pendekar bayangan yang tengah mendemonstrasikan kesanggpannya, bebas dari jarak ruang dan rentang waktu. Senang menyanyi dan tertawa tanpa sebab. Suka menggoda orang, bahkan menteror mental, meskipun, Alhamdulillah, masyarakat sekitarnya memiliki pola kearifan tertentu untuk memaafkannya dengan cara menganggapnya gila.
            Lama sekali saya tidak di ludahi kiai sudrun. Itulah hobinya kalau bertemu. Saya tidak tersinggung. Mending saya anggap ludah itu sebagai pertanda rezeki esok hari.
            Dengan naik bis millah, saya menuju rumahnya. Tapi baru saja sebelah kaki saya naik, puncratan ludah menyongsong wajah saya. Gila! Kiai Sudrun dia!
            “”Mau wawancara, ya?” tawanya sambil tertawa cekikikan. Tawa yang sama sekali tak cocok dengan dengan nada dan takaran kata-katanya.
            “Ya, Kiai.” jawab saya, “Soal Salman Rushdie, apa pendapat Kiai?”
            Dia lebih cekikikan lagi, membikin semua penumpang di bis menoleh tak mengerti. “Kok tumben, tanya soal pendapat? Sejak kapan orang di sini beleh berpendapat? ”
            “ini soal luar negri, kiai, tidak apa-apa berpendapat.”
            “mendadak kamu dan kawan-kawanmu menjadi empu soal kemerdekaan berpendapat, ya? Soal fakta dikampungmu sendiri, kamu diam terus. Soal imajinasi orang planet, kamu riuh rendah dan memamerkan kearifan.”
            “Terserah apa pendapat kiai tentang kami. Tapi soal ayat-ayat setan itu bagaimana?”
            Tiba-tiba saja kami sudah tidak ada di bis lagi. Kami berjalan menuju rumahnya.
            “Salman Rushdie itu zakarnya bengkok dan sejak muda selalu mengalami ejakuasi dini…”
            “itu sanepa, Kiai? Metafor” saya memotong
            “Tidak. Itu benar-benar. Memang begitu hasil penglihatan batin saya. Mata batin itu faktual, beda dengan imajinasi, juga beda dengan khayal… ”
            “tapi sama subyektifnya, Kiai.” Saya memotong lagi.
            “Subyektivitas itu sah, dijamin undang-undang. Tapi kata-kata saya tentang Salman Rushdie itu obyectif. Karena dia inferior di bidang seks, makannya dia jadi Bandar buntutan. Istrinya dia jual sebagai pelacur, digermoinya sendiri. Setiap lelaki dipersilakan menyetubuinya, asal wanita itu tetap menjadi milik salaman… ”
            “Itu ngawur, Kiai” saya memproter, “dan lagi tidak sopan!”
            “sialahlan kala sampean mau menyensor pendapat saya, kalau masih meyakini bahwa selama  ada kebebasan pendapat sensor itu perlu. Bahkan kamu boleh berpendapat bahwa Sudrun itu pantas dibunuh, tatapi harap tahu, bahwa kata-kata saya tidak bakalan mampu kamu sirnakan. Kata-kata saya sudah menjadi frekuensi dalam kosmos, menjadi bagian dari keabadian.”
            “tapi Koran saya tidak bisa memuat hasil wawancara yang demikian, kiai, itu tidak etis, melanggar tata kerama, mengancam toleransi, menghina privacy orang lain!”
            “Bodoh kamu,” Kiai Sudrun terus cekikian. “Justru kalau kamu berani memuat, koranmu akan laris. Biar nanti si salman bikin sayembara berhadiah untuk membunuh saya. Kemudian orang lain juga akan membunuh rushdie. Boleh-boleh saja. Bebas. Orang bebas berpendapat bahwa saya pantas dilenyapkan…”
            Untung, segera saya ingat bahwa ini kiai kentir.
            Segera saya belokkan pembicaraan. “bagaimana membandingkan Ayat-ayat Setan dengan Gatoloco, Darmogandul, atau ‘Langit Makin Mendung’?”
            Sambil kencing di pojok ruangan, Sudrun menjawab, “Gatoloco itu dagelan orang frustasi. Anggap saja, gila. Juga klep kultural Jawa kan luwes. Kalau ‘langit makin Mendung’ itu tidak salah apa-apa, kecuali bahwa cerita itu diungkapkan. Seperti halnya zakar kamu itu, jangan dikeluarkan ditengah jalan besar. Karena zakar itu suci, privat, kesucian dan hakekatnya terjaga dengan cara tidak dipamer-pamerkan. ”
            Saya betul-betul pusing. “Koran saya tidak mungkin memuat kata zakar, Kiai! Pasti kena sesnsor redaktur saya.”
            “Lho, kan tidak menyinggung siapa-siapa. Tema zakar adalah tema tentang kesucian ciptaan Allah dan tentang piranti utama sejarah kemanusiaan. Tulisan tentang sesuatu yang menyinggung perasaan orang saja boleh dimuat demi kemerdekaan kreatif, kok malah soal zakar yang suci tidak boleh!”
            "Soal Ayat-Ayat Setan ini," suara keras Kiai Sudrun mengagetkan saya, "makin menunjukkan bahwa dunia tidak makin beritikad baik terhadap Islam. Iklim itu juga menaburi banyak kalangan kaum muslimin sendiri. Tak apa. Itu bukan urusan Islam. Islam itu Islam. Islam tetap Islam, tak pernah bergeser sedikit pun dari kebenarannya. Silakan orang di seluruh muka bumi membenci, mencurigai, atau bahkan meninggalkan Islam. Pengaruhilah dunia sehingga tak seorang pun lagi memeluk Islam. Hasilnya, Islam ya tetap Islam. Islam tak berubah karena disalahpahami. Islam tak menjadi lebih tinggi karena dicintai, dan tak menjadi lebih rendah karena dibenci. Silakan orang "curigation" terus kepada Islam, silakan menyelewengkan, silakan memfitnah, silakan memanipulasi: pada dirinya sendiri Islam tak pernah berubah. Laa raiba fiih, tak ada keraguan padanya. Kalau orang ragu, itu urusan dia-lah. Islam tak rugi. Islam bebas dari untung-rugi. Islam baqa kebenarannya: Manusia sajalah yang terikat untung rugi. Manusia sudah tiba di abad ke-20 yang mahacerdas. Mereka menentukan untung ruginya sendiri tanpa bisa menentukan nasib Islam. Islam tak pernah tertawa karena dinikahi dan tak pernah menangis karena dicerai. Islam tak punya kepentingan terhadap manusia, manusialah yang berkepentingan terhadapnya ...."

Tiba-tiba lenyap Kiai Sudrun. Tiba-tiba pula saya berada di serambi sebuah masjid. Terdengar suara khatib berapi-api menginformasikan bahwa Muhammad adalah rasul terakhir -- seolah-olah ia dinobatkan menjadi nabi kemarin lusa.

Yogyakarta, 18 maret 1989
Oleh : Emha Ainun Nadjib