Kami Takjub, Ya Akbar


Para imam sembahyang, ketika mengimami shalat Id, suaranya menjadi lain. Ada getaran khusus, mungkin oktafnya meninggi, atau seperti ada pekikan, meskipun suaranya pelan dan rendah. Maka, bunyi Allahu Akbar, yang tiap hari terdengar, mencapai ekstasenya pada shalat Id. Maka, betapakah runtutan ekstase suara terdalam makhluk Allah itu dari tempat ke tempat di seluruh permukaan bumi, pada pagi hari pertama bulan Syawal?
Musik Mahaagung.
Mengapa shalat Id mesti kita lakukan bersama bangkitnya matahari? Allah saja yang mempertimbangkannya, adapun kita hanya tahu satu jawaban: Allahu Akbar yang menggetarkan itu bergaung sesudah kegelapan malam berlalu.
Kegelapan dan malam. Kita mafhum betapa luas artinya.
Kegelapan malam dihapus oleh cahaya pagi hari. Pagi itu abadi. Berjalan melata di bumi sepanjang waktu. Pagi tak pernah siang. Yang mengalami perubahan menuju siang hanyalah kita, yang bertempat tinggal di suatu tempat, yang tidak bisa membawa darah daging ini untuk terus mengejar pagi kehidupan.
Maka, setiap kali pagi akan lewat kembali dari hidup kita, menuju siang dan ambang senja, kemudian membusuk ke cengkeraman malam, untuk menemukan kembali pagi Allahu Akbar kita. Maka memang hanya rohani kita yang sanggup mengabadi, bagai pagi.
Tetapi anggaplah pada pagi Idul Fitri ini kita berada di angkasa raya. Duduk di sisi matahari. Memandangi gerak lambat putaran dan edaran bumi. Kita dekatkan mata ke permukaannya. Maka kita dapat menyaksikan dataran ombak maha luas, yang gerak gelombangnya terdiri atas beribu-ribu orang berukuk bersujud, yang bergiliran sesuai dengan tempat demi tempat yang berurutan garis, warna-warni, sapuan-sapuan dan getaran. Keagungan apa gerangankah ia?
Teater mahabesar.
Teater bukan dalam arti sandiwara atau pertunjukan, melainkan semacam estetika keilahian yang sudah berangkat merdeka. Kesenian sejati yang sudah tidak mempertunjukkan diri, karena itu bernama tauhid. Tauhid bukanlah “men-satu-kan” Tuhan. Tauhid ialah menggerakkan diri, menggabung, ke Allah yang Esa.
Pada setiap Idul Fitri, kita pandangi permukaan bumi dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan yang lebih besar dari kumpulan manusia untuk mentauhid, meleburkan egonya ke Mahaego yang –kita tahu- tidak egoistik itu.
Allahu Akbar. Idul Fitri menjadi puncak ekstase tauhid kaum muslimin, namun bukan lantas telah selesai. Setiap orang akan “terengah-engah” sesudah ekstase itu dan kembali belajar menyebut Allah sebagai kabir –berarti Mahabesar- untuk kemudian di setiap penghujung Ramadan, dan menyebut-Nya Akbar, yang berarti Maha Lebih Besar. Ekstase yang ia alami adalah tergeleparnya Musa di Gunung Tursina.
Itu adalah puncak ketakjuban, dan pingsan.
Setiap hari, setiap muslim mengasah “radar” ketakjuban itu. Umpamanya dengan berwudhu: membersihkan, memfitrikan seluruh anggota tubuh, menyiapkan wajah, tangan, rambut, telinga, kaki, dan segala indera untuk turut sembahyang dan memiliki kesadaran mengabdi kepada Allah.
Kemudian seluruh anggota badan dan jiwa itu berjamaah memasuki shalat: Allahu Akbar yang ia ucapkan adalah ungkapan ketakjuban terhadap Allah beserta semua ide-Nya. Ketakjuban tanpa histeria. Ketakjuban yang “dingin”, yang membawanya berikrar bahwa segala shalat, hidup, dan mati ini hanya untuk Dia yang ia cintai kepati-pati.
Kemudian setiap tahap dari shalat adalah Allahu Akbar demi Allahu Akbar, ketakjuban demi ketakjuban, yang didahului oleh penghayatan, evaluasi, introspeksi, pensucian diri.
Puncak pencucian diri itu adalah Ramadan. Puncak ketakjuban itu adalah Allahu Akbar Hari Raya. Maka, suara para imam itu gemetar.
Kita menjadi “demam panggung” di hadapan Allah yang Maha kita kagumi. Kita salah tingkah, sehingga untuk mengatasinya kita melonjak-lonjak, bermabuk gembira, dan mungkin berfoya-foya. Karena itu, Idul Fitri menjadi bersifat kultural. Kita menyebutnya Hari Raya, bahasa Arabnya Yaumul Haflah, hari pesta.
Tapi what’s wrong? Itu adalah bagian dari fitrah manusia. Bukankah sebandit-banditnya kita, rohani kita tetap tergetar? Tetap masyuk dalam keagungan Allahu Akbar?
Bahkan “dualisme” itu pun tetap menakjubkan. Allahu Akbar, wahai, Allahu Akbar!
Tiap hari kita begitu sibuk dan “lari” dari-Nya. Justru karena itu kita tergetar untuk ber-‘id, untuk pulang kembali ke fitri. Apalagi fitrah manusia itu ialah tidak ada. Hanyalah Allah, Si Akbar, yang ada.

28 Mei 1988
Oleh : Emha Ainun Nadjib

Aku sakit kau Tak Menjengukku

Pada saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya. Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya.
“Nah, sahabatku,” berkata Nabi. “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi, “Sayang sih, sayang wahai Nabi….”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, …” ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi. Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu….”
Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet. Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui?
Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya. Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?
Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya: Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca salawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca salawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah.
Akhirnya kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks bersalawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.
Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak.
Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja, Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.
Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol… menagih cinta. Alangkah tak enak posisi macam ini!
Apa yang terjadi! Ternyata Beliau malah tertawa, “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?”
“Aku merasa pekewuh, Nabi….”
Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala? Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?”
Kawan saya tersipu-sipu.
“Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi. “kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja….”
Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya. Kawan saya menarik napas lega. Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!
Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta. Ia empan papan, dan mengerti inti jagat.
Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.
Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?”
Modarlah kawan saya. Ketika ia menjawab,”Sayang sih, ya sayang….” Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad, “Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?”
Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekad. “Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu. Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliyah modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu.
Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan. Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tidak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam. Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis.
Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu. Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu? Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu? Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, Kau tidak menjengukku. Aku ini kesepian, Kau tidak menyapaku….”
Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.

YK, 4 Februari 1989
Oleh : Emha Ainun Nadjib

Berniaga dengan dan dalam Allah


TERLALU asyik ber-gugur gunung bersama penduduk memperbaiki jembatan, Kiai Muhammad, tampaknya, lupa untuk segera bersalat lohor. Ketika sadar, bergegas ia pergi ke mesjid. Asar sudah menjelang. Ia sudah pergi ke sumur. Ketika tengah memegang tali timba, tampak olehnya seeekor semut terkatung-katung di permukaan air.
Kiai Muhammad menahan tangannya. Amat perlahan ia mencoba menggeser letak timba agar mendekati semut. Ia melakukannya dengan hati-hati, sebab ia akan dihinggapi oleh rasa dosa kalau karena kegagalannya menolong, sang semut akan lenyap di sumur.
Alhamdulillah ia berhasil. Semut itu telah berada di air dalam timba. Tetapi begitu Kiai Muhammad hendak menggerakkan tangannya untuk menaikkan timba, terdengar suara azan dari corong mesjid.
            Kiai Muhammad menarik napas panjang. Lebih besar manakah dosa tak salat lohor dibanding dengan "jasa" menyelamatkan seekor semut? Kiai Muhammad menaikkan timba. Dan sesudah meletakkan kembali tubuh semut di tanah, ia berwudu dan berangkat salat. "Allah, hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan waktu lohor yang Kau anugerahkan," ia berkata dalam doanya. "Adapun mengenai semut itu, serta segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan, rasanya belum pantas untuk kujadikan alasan memohon pahala dari-Mu..."
Pada malam hari, Kiai Muhammad menceritakan peristiwa itu kepada para santrinya. "Jangan menjadi cengeng atau sombong oleh cerita remeh ini," katanya. "Jangan pernah menganggap bahwa aku telah sedemikian berjasa terhadap kehidupan semut itu sehingga Tuhan itu digampangkan dengan menganggap bahwa Ia pasti mengampuni kelalaian lohorku, meski jelas bahwa Tuhan tidaklah cerewet."
            Pada lain waktu, Kiai Muhammad mengemukakan, peristiwa saat ia menolong semut itu adalah pertemuan rahasia antara nasib manusia dengan keagungan Allah yang tak terduga. Itu adalah momentum eksistensial manusia di hadapan Khaliknya. Itu adalah titik persilangan antara jalan syariat dan lorong hakikat. Semacam perbenturan yang mengasyikkan antara tata krama keagamaan dan inti konsep perniagaan dengan Allah dan di dalam Allah.
             Mengapa pertemuan rahasia? Karena setiap saat Allah hadir menjenguk kita dan aktif mengelola urusan-urusan tertentu dari nasib kita, sejauh tidak melanggar batas kemerdekaan yang sudah Ia jatahkan bagi manusia. Kehadiran Allah dalam ruang dan waktu hanya bisa dirasakan dan dimengerti oleh manusia yang rajin mempelajari metode-Nya, pola komunikasi-Nya, idiom-idiom-Nya: Allah memiliki dan menjalankan tradisi-Nya sendiri. Sunnatullah namanya.
Tetapi Allah tidak mempunyai kebutuhan, laba atau rugi atas bersedia atau tidaknya manusia mengenali kemesraan cinta-Nya. Bahkan jika manusia menyelewengkan waktu dan ruang kemerdekaan yang Ia berikan. Ia tetap pada ada-Nya, tak menangis dan tak tertawa. Allah tidak berduka oleh fasisme politik, tidak terluka hati-Nya oleh dehumanisasi, dan tidak stressed oleh sikap abai peradaban manusia kepada-Nya.
         Oleh karena itu, Allah bukanlah the oppressed yang perlu dibela. Kalau Kiai Muhammad tidak sembahyang lohor, kita tidak berhak memarahi atau membencinya--dengan landasan bahwa kita sedang membela hukum Allah. Kiai Muhammad sudah cukup tua untuk sanggup mengkalkulasi timbangan perniagaan pribadinya dengan Allah dan Allah sendiri sudah menyediakan lembaga peradilan atas dosa pahala manusia, sehingga tidak perlu diambil alih oleh peradilan budaya keagamaan manusia.
Terkadang ada baiknya mengurangi penggunaan tenaga menjadi satpam fiqih dengan menggunakannya untuk meriset apakah seekor semut pada suatu hari mewakili kehadiran Allah di hadapan kita. Kalau kesadaran rohani Kiai Muhammad baru sampai pada taraf ana insan atau "aku manusia", maka semut itu tidak akan tampak oleh mata perhatiannya karena terlalu disibukkan oleh ego eksistensinya sebagai seseorang.
Kalau dia berada pada tahap ana 'abdullah atau "aku hamba Allah", nasib semut itu akan dilewatinya saja karena ia membela jumlah kepatuhannya kepada Allah. Tetapi karena Kiai Muhammad telah memakai alas kaki khalifatullah, ia bersikap demokratis pada seluruh anggota alam, seluruh hamba Allah: sesama manusia, tanah, hasil tambang, kayu Kalimantan, gunung-gunung, cengkih, minyak bumi, dan seekor semut.
Seorang khalifatullah menerjemahkan komitmen sosial di dalam perspektif kosmis, tak sekadar terbatas pada dunia kehidupan manusia, dengan bagian-bagian alam yang lain hanyalah instrumen bagi kesejahteraannya. Sebuah generasi yang mewariskan malapetaka sosial ekonomi dan bencana ekologi kepada anak cucunya adalah generasi rohani kelas tiga yang mabuk di atas singgasana "aku manisai" –suatu kesadaran sekular.
Jike generasi macam itu menggenggam agama, maka yang terjadi adalah seperti yang dipuisikan oleh Sunan PAnggung sekian abad yang lalu: Orang yang tak mengetuk pintu rahasia / Hanyalah terbelenggu oleh tata krama / Sembahyang sunnah dan fardu tak pernah tertinggal / Untuk menutupi kelalaiannya terhadap tetangganya yang lapar / ... Sepedati penuh kertasnya / Yang dibicarakan hanya masalah halal haram ... Orang-orang beriman kini makin diuji untuk menentukan apakah mereka lebih memilih "menghimpun pahala pribadi" ataukah "menyumbangkan diri bagi proses-proses sosial". Hal yang kedua itu bisa merisikokan berkurangnya peluang yang pertama. Kalau sewaktu berangkat ke mesjid untuk salat Jumat tiba-tiba Anda jumpai di jalan seseorang tertabrak motor--padahal suara iqamah sudah terdengar dari corong mesjid--apa yang akan Anda lakukan?
Momentum dan konteks seperti itu terjumpai di berbagai bidang kehidupan. Dan di dalam skala yang besar, Rabiah al Adawiyah memilih sikap ini: "Ya Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka, sehingga tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hamba-Mu..."
Metode duniawi untuk menghindarkan orang-orang dari api neraka ialah dengan menggabungkan diri ke dalam usaha-usaha penyelenggaraan tata sosial ekonomi, tata politik, hukum, dan kebudayaan, yang membuat orang tak "terpaksa" mencuri, tidak "terkondisi" untuk korupsi, menindas, berzina, membunuh, menuduh komunis, menyelenggarakan judi kedermawanan, dan memelihara gundik. Usaha kekhalifahan semacam itu sama sekali tidak menjadi sia-sia meski sejarah tidak pernah mencatat bahwa hal itu berhasil terwujud.
Kalau seorang direktur perusahaan tahu bahwa lima juta rupiah gajinya setiap bulan tidak seluruhnya merupakan hak miliknya, sehingga sebagian gaji itu diserahkan kepada kaum miskin yang menghakinya, pasti itu bukan jaminan bahwa kemiskinan akan lenyap dari muka bumi. Tetapi ia dengan demikian telah menjalankan kerangka duniawi-ukhrawi perniagaan dengan dan di dalam Allah. Ia telah lebih dari tingkat insan dan abdullah: ia Khalifatullah.

Yogya, 18 Februari 1989
Oleh : Emha Ainun Nadjib

Slilit Sang Kiai

Tidak jelas apa bahasa indonesianya, tapi bisa disebut selilit. Kalau habis ditraktir makan sate, bisanya ada serabut kecil sisa daging nyelip diantara gigi −̶ itulah seliit. 
Selilit sama sekali tidak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tak berkaitan dengan setiap kampanye pembangunan. Koran tak pernah meng-cover-nya. Para ilmuan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan satu-satunya produksi ekonomi yang pernah urusan dengannya disebut “tusuk gigi” – bukan “tusuk selilit”. Padahal selilit-lah yang ditusuk. 
Namun, begitulah, slilit pernah memusingkan seorang kiai dia alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surge. Ceritanya, dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum para santrinya siap untuk itu. Murid-murid setia itu, sudanh mengubur sang kiai, Lantas nglembur mengaji berhari-hari −̶ agar diperkenankan bertemu roh beliau barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebenaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Roh kiai menemu mereka. 
Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib Sang Kiai di “sana”. “Baik-baik, Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri dirumah Pak Kusen? Sehabis makan barang, hadirin berebut menyalamiku, hingga aku tak sempat mengurusi slilit di gigiku. Ketika pulang, ditengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak membawa tusuk slilit maka aku mengambil putongan kayu kecil dari pagar orang. Kini alangkah sedihnya: aku tak sempat minta maaf pada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?. 
Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan, alangkah lebih malangnya nasib Sang Kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau candi Borobudur, setidaknya satelit Palapa. 
Ada satu intensitas rohani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan begitu mutlak. Tampat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana sesorang mengelolah dirinya dalam hidup. 
Meski demikian, hal itu sebenarnya naluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun, orang yang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan pohon itu merusak ekologis. Seorang Indian Wintu di California berkata pilu: 
“orang-orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah , rusa, atau beuang. Jika kami makan daging, kami tak menyiksanya. Jka kami memerlukan akar, kami membuat lubang bukan mencabutnya. Kami tak menumbanagkan pohon . kami hanya memakai kayu yang sudah mati tapi orang kulit putih membajak sawah, merobohkan pohon, membunuh segela yang dikehendaki. Pohon-pohon menangis: ‘jangan! Aku luka dan sakit!’ −̶ tapi mereka mencabutnya, memotong-motongnya. Roh tanah suci mereka! Mereka meledakan batu-batu, gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah hingga saling tak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh: ‘jangan! Aku pecah dan sedih’ −̶ tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimanaun roh batu menyayangi mereka? Apa saja yang tersentuh tangan mereka, rusaklah segala sesuatu itu…. !” 
Naruri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa kulit merah. Manusia dengan kecerdasan berhasil menaklukan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulapnya menjadi surge impian, memakannya, menghabiskannya, menguras dan mengenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubadzir, bagai direncanakan untu menyegerakan berbagai kehancuran yang ditup-tutupi. 
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tak begitu penting, juga di negri yang bangsanya tamak begitu religious. Kata ‘Tuhan’ disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksannan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat. 
Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya. 

10 September 1983

Jaman Wis Akhir

Cak Nun Kyai Kanjeng : Jaman Wis Akhir

Kalau memang yang bisa engkau pahami hanyalah kemauan, kepentingan, dan nafsumu sendiri, dan bukannya kerendahan hati untuk merundingkan titik temu kebersamaan, maka siapkan kekebalan dari benturan-benturan dan luka, untuk kemudian orang lain menggali tanah untuk menguburmu.

Kalau memang engkau bermaksud menyulap sejarah dan mengubah zaman dalam sekedipan mata, dan bukannya bersabar menggembalakan irama dan proses, maka nantikan darah akan muncrat membasahi tanah airmu, kemudian engkau sendiri akan terjerembab, terjatuh di terjalan-terjalan ketidakberdayaan.

Kalau memang sesembahanmu kenikmatan di dalam membenci, adalah mabuk di dalam teriakan caci maki, atau keasyikan di dalam kecurangan-kecurangan, maka ambil pedangmu, angkat tinggi-tinggi, dan mulailah menabung kerelaan untuk engkau sendiri, mati.

Kalau engkau menyangka bahwa benarnya pendapatmu sendiri itulah kebenaran, maka apa boleh buat, aku mendaftarkan diri untuk melawanmu.

Kalau engkau mengira bahwa benarnya orang banyak adalah segala-galanya, di mana langit mimpi-mimpi bisa engkau raih dengan itu, maka jangan sekali-kali menghalangiku untuk mengedari langit, dan kupetik kebenaran yang sejati untuk aku taburkan ke bumi tanpa bisa engkau halangi.

Dan kalau memang bagimu kehidupan adalah perjuangan untuk berkuasa dan mengalahkan saudara-saudaramu sendiri, kalau engkau kira kehidupan adalah saling mengincar untuk menikam dari belakang, atau untuk mengganti monopoli dengan monopoli baru, menggusur hegemoni dengan hegemoni baru, serta mengusir macan untuk engkau macani sendiri, maka apakah itu usulanmu agar kita mempercepat keputusan untuk saling memusnahkan?

***
Kalau memang yang engkau pilih bukan kearifan untuk berbagi, melainkan nafsu untuk menang sendiri, maka terimalah kehancuran bagi yang kalah dan terimalah kehinaan bagi yang menang.

Kalau memang yang mengendalikan langkahmu adalah rasa senang dan tidak senang, dan bukannya pandangan yang jujur terhadap kebenaran, maka buanglah mereka yang engkau benci, dan bersiaplah engkau sendiri akan memasuki jurang.

***
Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang
Akale njungkir, akale njungkir negarane guncang
Jaman wis akhir, jaman wis akhir bumine goyang
Akale njungkir, akale njungkir negarane guncang

Awan berarak, nyawa manusia berserak-serak
Badai menghantam, laut terbelah, bumi terpecah
Orang bikin luka, orang menganiaya diri sendiri
Sirna akalnya, lenyap imannya, hilang jejaknya

Jaman wis akhir, jaman wis akhir dunyane sungsang
Makmume gingsir, makmume gingsir, imame ilang
Jaman wis akhir, jaman wis akhir dunyane sungsang
Makmume gingsir, makmume gingsir, imame ilang

Orang menangis, keranda berbaris di bawah gerimis
Hamba bersimpuh, hamba bersujud, ngeri dan takut
Orang mencakar, orang menampar wajahnya sendiri
Hamba terkapar, jiwa terbakar oleh sepi

Jaman wis akhir, jaman wis akhir langite peteng
Atine kafir, atine kafir uripe meneng
Jaman wis akhir, jaman wis akhir langite peteng
Atine kafir, atine kafir uripe meneng

Duh Gusti Allah adakah sisa kasih sayang-Mu
Hamba celaka, hamba durhaka tidak terkira
Di manakah hamba sembunyi dari murka-Mu
Selain dalam tak terbatasnya cinta kasih-Mu

Jaman wis akhir, jaman wis akhir banjire bandang
Sing mburi mungkir, sing mburi mungkir sing ngarep edan
Jaman wis akhir, jaman wis akhir banjire bandang
Sing mburi mungkir, sing mburi mungkir sing ngarep edan

***

Kalau untuk memperoleh kemenangan harus engkau curangi saudaramu sendiri, kalau untuk memperoleh kejayaan harus engkau jegal kaki saudaramu sendiri, kalau untuk memperoleh kekuasaan harus engkau singkirkan saudaramu sendiri, kalau untuk mendapatkan pengakuan harus engkau tiadakan saudaramu sendiri, kalau untuk memperoleh kemulyaan harus engkau perhinakan saudaramu sendiri, dan kalau untuk bisa menegakkan hidupmu engkau memerlukan kematian saudaramu sendiri, maka apa bedanya engkau dengan monster-monster yang engkau kutuk-kutuk itu? Dan katakanlah kepadaku apa yang bisa engkau andalkan untuk merangsang cinta dan dukunganku atasmu?

Keberanian adalah jika ada seekor rusa, domba, anak ayam yang tidak bersembunyi dari auman singa si raja rimba, kemudian bahkan tidak lari dari cengkeramannya, meskipun untuk itu ia mampus dilumat-lumat oleh taring sang singa. Namun ketika singa itu tergeletak lumpuh badannya, hilang taringnya, dan tidak terdengar aumannya, lantas datang beribu-ribu serigala mengerubutinya, mencabik-cabik badannya, melumurinya dengan air liur, itu sama sekali bukan keberanian, melainkan kepengecutan.

Kamu juga lihat di hutan yang lain, berpuluh-puluh tahun sang macan memerintah dan menguasai hutan, jutaan binatang penghuni rimba selalu berlari menjauh ke semak-semak kebisuan, beribu-ribu hewan lainnya berkerumun di sekitar sang raja, macan itu, mematuhi perintahnya. Tatkala sang macan jatuh dari kekuasaannya, jutaan penghuni hutan lega hatinya, sementara ribuan penjilat-penjilat beralih mengutuk sang macan, menampilkan diri sebagai pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa, yang senantiasa menyebut-nyebut kepedulian dan pembelaan atas seluruh penghuni hutan. Itu juga bukan patriotisme, melainkan kehinaan.

Masabodokanlah aku yang tak menguntungkanmu